tag:blogger.com,1999:blog-61217903786789551502024-02-08T10:39:10.825-08:00Dunia KitaAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/03001901382708251635noreply@blogger.comBlogger11125tag:blogger.com,1999:blog-6121790378678955150.post-61335183499656015862013-02-17T20:14:00.002-08:002013-02-17T20:14:21.041-08:00Sistem Ekonomi Dunia<h3 style="text-align: justify;">
Pengertian Sistem ekonomi </h3>
<div style="text-align: justify;">
Istilah “sistem” berasal dari perkataan “systema” (bahasa Yunani), yang dapat diartikan sebagai: keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian. Pada dasarnya sebuah sistem adalah suatu organisasi besar yang menjalin berbagai subjek (atau objek) serta perangkat kelembagaan dalam suatu tatanan tertentu (Dumairy, 1996: 28). <br />Suatu sistem muncul karena adanya usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan manusia yang sangat bervariasi akan memunculkan sistem yang berbeda-beda. Kebutuhan manusia yang bersifat dasar (pangan, pakaian, papan) akan memunculkan suatu sistem ekonomi. </div>
<div style="text-align: justify;">
Berikut adalah pengertian Sistem Ekonomi menurut para ahli antara <br />lain : </div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut Dumairy (1996: 30), Sistem ekonomi adalah suatu sistem yang mengatur serta menjalin hubungan ekonomi antar manusia dengan seperangkat kelembagaan dalam suatu tatanan kehidupan. Selanjutnya dikatakannya pula bahwa suatu sistem ekonomi tidaklah harus berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan falsafah, padangan dan pola hidup masyarakat tempatnya berpijak. Sistem ekonomi sesungguhnya merupakan salah satu unsur saja dalam suatu supra sistem kehidupan masyarakat. Sistem ekonomi merupakan bagian dari kesatuan ideologi kehidupan masyarakat di suatu negara. </div>
<div style="text-align: justify;">
Tom Gunadi (1985: 26). Sistem perekonomian adalah sistem sosial atau kemasyarakatan dilihat dalam rangka usaha keseluruhan sosial itu untuk mencapai kemakmuran. </div>
<div style="text-align: justify;">
Suroso (1997: 7-8). Dilihat dari tujuannya, sistem ekonomi merupakanusaha untuk mengatur pertukaran barang dan jasa yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Karena meningkatkan kesejahteraan rakyat itu merupakan salah satu tujuan dari politik nasional, maka dengan demikian sistem perekonomian pada dasrnya merupakan bagian dari sistem politik nasional. </div>
<div style="text-align: justify;">
Gregory Grossman dan M. Manu mengatakan bahwa :“Sistem ekonomi adalah sekumpulan komponen-komponen atau unsur-unsur yang terdiri dari atas unit-unit dan agen-agen ekonomi, serta lembaga-lembaga ekonomi yang bukan saja saling berhubungan dan berinteraksi melainkan juga sampai tingkat tertentu yang saling menopang dan mempengaruhi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut Bapak Ekonomi yaitu Adam Smith (1723 - 1790): sistem ekonomi merupakan bahan kajian yang mempelajari upaya manusia memenuhi kebutuhan hidup di masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Berdasarkan berbagai macam pemaparan mengenai sistem ekonomi dari berbagai sumber maka dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi adalah suatu sistem yang mengatur kondisi perekonomian suatu negara sesuai dengan kondisi kenegaraan dari negara itu sendiri. Setiap negara memiliki sistem perekonomian yang berbeda-beda. Hal itu disebabkan setiap negara memiliki ideologi, kondisi masyarakat, kondisi perekonomian, serta kondisi SDA yang berbeda-beda. Sistem ekonomi dapat diartikan sebagai kegiatan produksi, konsumsi dan distribusi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. <br />Perbedaan mendasar antara sebuah sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya adalah bagaimana cara sistem itu mengatur faktor produksinya. Dalam beberapa sistem, seorang individu boleh memiliki semuafaktor produksi. Sementara dalam sistem lainnya, semua faktor tersebut di pegang oleh pemerintah. Kebanyakan sistem ekonomi di dunia berada di antara dua sistem ekstrim tersebut. Selain faktor produksi, sistem ekonomi juga dapat dibedakan dari cara sistem tersebut mengatur produksi dan alokasi. <br /> </div>
<h3>
Jenis-Jenis Sistem Ekonomi </h3>
<div style="text-align: justify;">
Di dunia ini terdapat berbagai macam sistem ekonomi yang diterapkan oleh Negara. Sitem ekonomi tersebut antara lain sistem ekonomi tradisional, sistem ekonomi liberal/pasar/bebas, sistem ekonomi komando/terpusat/etatis, dan sistem ekonomi campuran. </div>
<div style="text-align: justify;">
<b>1. Sistem Ekonomi Tradisional </b></div>
<div style="text-align: justify;">
Sistem ekonomi tradisional merupakan sistem ekonomi yang diterapkan oleh masyarakat tradisional secara turun temurun dengan hanya mengandalkan alam dan tenaga kerja. Dalam sistem ekonomi ini <br />pengaturan ekonomi dimapankan menurut pola tradisi, yang biasanya sebagian besar menyangkut kontrol atas tanah sebagai sumber terpenting atau satu-satunya sumber ekonomi (Cornelis Rintuh, 1995: 40). </div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Ciri-ciri sistem ekonomi tradisional </b><br />Sistem Ekonomi tradisional memiliki ciri-ciri sebagai berikut: </div>
<ul>
<li>Teknik produksi dipelajari secara turun temurun dan bersifat sederhana. </li>
<li>Hanya sedikit menggunakan modal. </li>
<li>Pertukaran dilakukan dengan sistem barter (barang dengan barang). </li>
<li>Belum mengenal pembagian kerja. </li>
<li>Masih terikat tradisi. </li>
<li>Tanah sebagai tumpuan kegiatan produksi dan sumber kemakmuran. </li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Kebaikan sistem ekonomi tradisional </i><br />Sistem ekonomi tradisional memiliki kelebihan sebagai berikut: </div>
<ul>
<li>Tidak terdapat persaingan yang tidak sehat, hubungan antar individu sangat erat. </li>
<li>Masyarakat merasa sangat aman, karena tidak ada beban berat yang harus dipikul. </li>
<li>Tidak individualistis. </li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
<i>Kelemahan sistem ekonomi tradisional </i><br />Selain memiliki berbagai kelebihan sistem ekonomi tradisional juga memiliki kelemahan, yaitu: </div>
<ul>
<li>Teknologi yang digunakan masih sangat sederhana, sehingga produktivitas rendah. </li>
<li>Mutu barang hasil produksi masih rendah. </li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Saat ini sudah tidak ada lagi negara yang menganut sistem ekonomi tradisional, namun di beberapa daerah pelosok, seperti suku Badui dalam dan suku Bugis masih menggunakan sistem ini dalam kehidupan sehari-hari.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>2. Sistem Ekonomi Pasar (Liberal/Bebas/Kapitalis) </b><br />Sistem ekonomi pasar adalah suatu sistem ekonomi di mana seluruh kegiatan ekonomi mulai dari produksi, distribusi dan konsumsi diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Sistem ini sesuai dengan ajaran dari Adam Smith, dalam bukunya An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Model sistem ekonomi ini merujuk pada perekonomian pasar persaingan sempurna. Model ini seluruhnya khayal (Gregory Grossman, 2004: 66). Sistem ekonomi pasar yang dicetuskan oleh Adam Smith berintikan: </div>
<div style="text-align: justify;">
a. Tangan yang tidak terlihat akan menggerakkan kegiatan ekonomi yaitu dengan adanya keinginan seseorang/sekelompok orang yang memberikan sebuah barangdan atau jasa untuk mendapatkan barang lainnya (pertukaran). </div>
<div style="text-align: justify;">
b. Harga dalam pasar dapat goyah terutama karena hukum penawaran dan permintaan, serta keinginan pengusaha menggunakan modalnya sebaik mungkin. Oleh karena itu harga pasar dalam jangka pendek dapat sangat tinggi atau sangat rendah, tetapi dalam jangka panjang akan mencapai keseimbangan. <br />Dalam sistem bebas seperti itu pemerintah suatu Negara mempunyai tiga tugas yang sangat penting yaitu: </div>
<ul>
<li> Berkewajiban melindungi Negara dari kekerasan dan serangan negara bebas lainnya. </li>
<li>Melindungi setiap anggota masyarakat sejauh mungkin dari ketidakadilan atau penindasan oleh anggota masyarakat lainnya atau mendirikan badan hukum yang dapat diandalkan. </li>
<li>Mendirikan dan memelihara beberapa institusi atau sarana untuk umum yang tidak dapat dibuat oleh perorangan karena keuntungan yang didapat darinya terlalu kecil sehingga tidak dapat menutupi biayanya. Dengan kata lain di luar itu, kegiatan ekonomi sepenuhnya diserahkan kepada swasta. (Suroso, 1997: 14-15). </li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Pada dasarnya sistem ekonomi yang kapitalis murni hampir tidak ada. Yang berkembang sekarang ini sistem ekonomi yang sudah campuran. Hanya kadar dominasinya yang menentukan kecenderungannya kepada suatu jenis sistem ekonomi. Negara yang menggunakan sistem ekonomi ini adalah Amerika Serikat, Swedia, Belanda dan Prancis. </div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Ciri dari sistem ekonomi pasar/liberal/bebas/kapitalis. </b><br />Sistem ekonomi pasar/liberal/bebas memiliki ciri-ciri sebagai berikut: </div>
<ul>
<li> Setiap orang bebas memiliki barang, termasuk barang modal. </li>
<li> Setiap orang bebas menggunakan barang dan jasa yang dimilikinya. </li>
<li> Aktivitas ekonomi ditujukan untuk memperoleh laba. </li>
<li> Semua aktivitas ekonomi dilaksanakan oleh masyarakat (swasta). </li>
<li> Pemerintah tidak melakukan intervensi dalam pasar. </li>
<li>Persaingan dilakukan secara bebas. </li>
<li> Peranan modal sangat vital. </li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
<i>Kebaikan sistem ekonomi pasar/liberal/bebas/kapitalis.</i> <br />Sistem ekonomi pasar/liberal/bebas/kapitalis memiliki berbagai kebaikan antara lain: </div>
<ul>
<li>Menumbuhkan inisiatif dan kreasi masyarakat dalam mengatur kegiatan ekonomi. </li>
<li>Setiap individu bebas memiliki sumber-sumber produksi. </li>
<li>Munculnya persaingan untuk maju. </li>
<li>Barang yang dihasilkan bermutu tinggi, karena barang yang tidak bermutu tidak akan laku di pasar. </li>
<li>Efisiensi dan efektivitas tinggi karena setiap tindakan ekonomi didasarkan atas motif mencari laba. </li>
<li>Kelemahan sistem ekonomi pasar/liberal/bebas/kapitalis. </li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
<i>Sistem ekonomi pasar/liberal/bebas/kapitalis memiliki kelemahan sebagai berikut: </i></div>
<ul>
<li>Sulitnya melakukan pemerataan pendapatan. </li>
<li>Cenderung terjadi eksploitasi kaum buruh oleh para pemilik modal. </li>
<li>Munculnya monopoli yang dapat merugikan masyarakat. </li>
<li>Sering terjadi gejolak dalam perekonomian karena kesalahan alokasi sumber daya oleh individu. </li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Suatu perekonomian pasar/liberal/bebas/kapitalis dengan lembaga milik pribadi dan warisan menimbulkan kondisi untuk mengumpulkan kekayaan dan mempertahankannya dalam lingkungan keluarga dari satu ke lain generasi (Gregory Grossman, 2004: 68). Ini merupakan wujud kelemahan dari sistem ekonomi pasar/liberal/bebas di mana akan terjadi penumpukan kekayaan pada sekelompok orang secara turun temurun. Karena pemerintah tidak membatasi kegiatan ekonomi, maka orang bebas melakukan apapun yang menguntungkan bagi dirinya dan sesuka hatinya. </div>
<div style="text-align: justify;">
Ekonomi pasar efektif dalam menyeimbangkan permintaan dan penawaran pasar untuk masing-masing produk, tapi perekonomian pasar kurang bisa diharapkan dalam menciptakan keseimbangan makro ekonomi (Gregory Grossman, 2004: 78). Hal ini salah satunya disebabkan karena seluruh kesatuan ekonomi melakukan kegiatan ekonomi secara otonomi tanpa adanya koordinasi langsung. Hal ini dapat menyebabkan kondisi perekonomian suatu negara sangat fluktuatif, kecuali pemerintah mengambil kebijakan untuk menstabilkan kondisi perekonomian negaranya. </div>
<div style="text-align: justify;">
Suatu perekonomian dengan perusahaan swasta cenderung memproduksi barang yang laku di pasar daripada fasilitas umum. </div>
<h4>
3. Sistem Ekonomi Komando/Terpusat/Etatisme/Sosialis/Komunis </h4>
<div style="text-align: justify;">
Sistem ekonomi komando adalah sistem ekonomi di mana peran pemerintah sangat dominan dan berpengaruh dalam mengendalikan perekonomian. Sistem ini mendasarkan diri pada pandangan Karl Marx (Suroso, 1997; 15-16). Masyarakat komunis yang dicita-citakan Marx merupakan masyarakat yang tidak ada kelas sosialnya. Pada sistem ini pemerintah menentukan barang dan jasa apa yang akan diproduksi, dengan cara atau metode bagaimana barang tersebut diproduksi, serta untuk siapa barang tersebut diproduksi. Beberapa negara yang <br />menggunakan sistem ekonomi ini adalah Rusia, Cina, dan Kuba. </div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Ciri-ciri sistem ekonomi komando </b><br /><i>Sistem ekonomi komando memiliki ciri-ciri sebagai berikut: </i></div>
<ul>
<li>Semua alat dan sumber-sumber daya dikuasai pemerintah. </li>
<li>Hak milik perorangan tidak diakui. </li>
<li>Tidak ada individu atau kelompok yang dapat berusaha dengan bebas dalam kegiatan perekonomian. </li>
<li>Kebijakan perekonomian diatur sepenuhnya oleh pemerintah. </li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
<b>Kebaikan sistem ekonomi komando</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> Sistem ekonomi komando memiliki kebaikan antara lain: </i></div>
<ul>
<li>Pemerintah lebih mudah mengendalikan inflasi, pengangguran dan masalah ekonomi lainnya. </li>
<li>Pasar barang dalam negeri berjalan lancar. </li>
<li>Pemerintah dapat turut campur dalam hal pembentukan harga. </li>
<li>Relatif mudah melakukan distribusi pendapatan. </li>
<li>Jarang terjadi krisis ekonomi. </li>
<li>Kelemahan sistem ekonomi komando </li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
<i>Sistem ekonomi komando memiliki kelemahan antara lain: </i></div>
<ul>
<li>Mematikan inisiatif individu untuk maju </li>
<li>Sering terjadi monopoli yang merugikan masyarakat </li>
<li>Masyarakat tidak memiliki kebebasan dalam memilih sumber daya </li>
</ul>
<h4>
4. Sistem Ekonomi Campuran </h4>
<div style="text-align: justify;">
Sistem ekonomi campuran merupakan campuran dari sistem ekonomi pasar dan terpusat, di mana pemerintah dan swasta saling berinteraksi dalam memecahkan masalah ekonomi. Dalam bentuk perekonomian campuran sumber-sumber ekonomi bangsa, termasuk factor-faktor produksi dimiliki oleh individu atau kelompok swasta, di samping sumber tertentu yang dikuasai pemerintah pusat, atau pemerintah daerah, atau pemerintah setempat. Karena itu dalam sistem ekonomi campuran dikenal paling tidak dua sektor ekonomi, yaitu sektor swasta dan sektor Negara (Cornelis Rintuh, 1995: 41). </div>
<div style="text-align: justify;">
Sistem ini berkembang dan sekarang diberlakukan baik oleh Negara yang sebelumnya menganut sistem ekonomi pasar (Negara industri barat) maupun oleh Negara yang sebelumnya menganut sistem ekonomi perencanaan yang ketat/terpusat (Uni Soviet). Pemberlakuan sistem ekonomi pasar yang ketat ternyata menimbulkan depresi ekonomi pada tahun 1930-an. Sedang pemberlakuan sistem ekonomi perencanaan yang ketat juga tidak mampu menghilangkan kelas-kelas dalam masyarakat. Berdasarkan pengalaman tersebut banyak Negara menganut sistem ekonomi campuran ini. (Suroso, 1997: 17). Sistem ekonomi campuran melahirkan ekonomi pasar bebas, yang memungkinkan persaingan bebas tetapi bukan persaingan yang mematikan, campur tangan pemerintah dieprlukan untuk menstabilisasi kehidupan ekonomi, mencegah konsentrasi yang terlalu besar di pihak swasta, mengatasi gejolak-gejolak, dan membantu golongan ekonomi lemah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Ciri-ciri sistem ekonomi campuran antara lain: </b></div>
<ul>
<li>Merupakan gabungan dari sistem ekonomi pasar dan terpusat. </li>
<li>Barang modal dan sumber daya yang vital dikuasai oleh pemerintah. </li>
<li>Pemerintah dapat melakukan intervensi dengan membuat peraturan, menetapkan kebijakan fiskal, moneter, membantu dan mengawasi kegiatan swasta. </li>
<li>Peran pemerintah dan sektor swasta berimbang. </li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Penerapan sistem ekonomi campuran akan mengurangi berbagai kelemahan dari sistem ekonomi pasar dan komando dan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Secara umum saat ini hampir tidak ada negara yang murni melaksanakan sistem ekonomi terpusat maupun pasar, yang ada adalah kecenderungan terhadap ekonomi pasar seperti Amerika, Hongkong, dan negara–negara eropa barat yang berpaham liberal, sementara negara yang pernah menerapkan ekonomi terpusat adalah Kuba, Polandia dan Rusia yang berideologi sosialis atau komunis. Kebanyakan negara-negara menerapkan sistem ekonomi campuran seperti Perancis, Malaysia dan Indonesia. <br />Namun perubahan politik dunia juga mempengaruhi sistem ekonomi, seperti halnya yang dialami Uni Soviet pada masa pemerintahan Boris Yeltsin, kehancuran komunisme juga mempengaruhi sistem ekonomi soviet, dari sistem ekonomi terpusat (komando) mulai beralih ke arah ekonomi liberal dan mengalami berbagai perubahan positif. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Kebaikan Sistem Ekonomi Campuran </i></div>
<ul>
<li> Menghindarkan Free Fight liberalism </li>
<li>Menghindarkan adanya monopoli </li>
<li>Menghindarkan dominasi kekuasaan pemerintah </li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<h4>
5. Sistem Perekonomian di Indonesia </h4>
<div style="text-align: justify;">
<b>Bentuk sistem perekonomian Indonesia </b><br />Dalam pidato yang diucapkan oleh wakil presiden RI dalam konferensi ekonomi di Yogyakarta pada tanggal 3 febuari 1946 dikatakan bahwa dasar politik perekonomian RI terpancang dalam UUD 1945 <br />dalam bab kesejahteraan sosial pasal 33. Sementara itu Sumitro Djojohadikusumo dalam pidatonya dihadapan “School of Advanced International Studies” Washington D.C tanggal 22 Febuari 1949 juga <br />menegaskan bahwa yang dicita-citakan ialah suatu macam ekonomi campuran yaitu lapangan-lapangan tertentu akan dinasionaliasi dan dijalankan oleh pemerintah, sedangkan yang lainnya akan terus terletak dalam lingkungan usaha partekelir. </div>
<div style="text-align: justify;">
Meskipun sistem perekonomian Indonesia sudah cukup jelas dirumuskan oleh tokoh-tokoh ekonomi Indonesia yang sekaligus menjadi tokoh pemerintahan pada awal republik Indonesia berdiri, dalam perkembangannya pembicaraan tentang sistem perekonomian Indonesia tidak hanya berkisar pada sistem ekonomi campuran, tetapi mengarah pada suatu bentuk baru yang disebut sistem ekonomi Pancasila. Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) menurut Mubyarto (1987:32) adalah“ekonomi yang dijiwai oleh ideologi Pancasila, yaitu sistem ekonomi yang merupakan usaha bersama berasaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan nasional”. Sistem Ekonomi pancasila yang menjadi sumber ideologi Bangsa Indonesia yaitu Pancasila membawa keharusan untuk dijadikan dasar atau pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. <br />Sistem ekonomi Pancasila yang dimili Indonesia kadang disebut juga sebagai demokrasi ekonomi. Dijelaskan oleh Dochak Latief (1984:45) bahwa “demokrasi ekonomi yang menjadi dasar pelaksanaan pembangunan dan yang meliputi ciri-ciri positif maupun negatif yang harus dihindarkan. Garis-garis Besar Haluan Negara yang merupakan pedoman bagi kebijaksanaan pembangunan di bidang ekonomi Indonesia berbunyi “pembangunan ekonomi yang didasarkan pada Demokrasi Ekonomi menentukan bahwa masyarakat harus memegang peran aktif dalam kegiatan pembangunan (Suroso, 1997: 17-19). <b> </b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Ciri-ciri Demokrasi Ekonomi Sebagai berikut: </b></div>
<ul>
<li>Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasr atas asas kekeluargaan. </li>
<li>Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuaswai oleh Negara. </li>
<li>Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh engara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. </li>
<li>Sumber-sumber kekayaan dan keuangan engara digunakan dengan permufakatan Lembaga-lembaga Perwakilan Rakyat, serta pengawasan terhadap kebijaksanaannya ada pada Lembaga-lembaga Perwakilan Rakyat pula. </li>
<li>Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak. </li>
<li>Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. </li>
<li>Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga Negara diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum. </li>
<li>Fakir miskin dan anak-anak etrlantar dipelihara oleh Negara (Cornelis Rintuh, 1995: 51). </li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Dalam demokrasi ekonomi harus dihindarkan <i>ciri-ciri negatif sebagai berikut: </i></div>
<ul>
<li>Sistem Free fight liberalism yang menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan dan mempertahankan kelemahan structural posisi Indonesia dalam ekonomi dunia. </li>
<li>Sistem etatisme dalam mana Negara beserta aparatur ekonomi Negara bersifat dominan serta mendesak dan mamtikan potensi dan daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor Negara. </li>
<li>Pemusatan kekuatan ekonomi pada suatu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat (Cornelis Rintuh, 1995: 51-52). </li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Sistem ekonomi Indonesia yang dikenal sebagai Demokrasi Ekonomi adalah Sistem Ekonomi yang dijalankan oleh Indonesia. Sistem tersebut juga ada yang menyebutnya sebagai sistem ekonomi Pancasila. <br />Pancasila meurpakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, maka sistem ekonomi Indonesia pun lebih tepat jika didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Mubyarto mengatakan bahwa, apa yang disebut oleh presiden Suharto tentang sistem ekonomi koperasi sebagai sistem ekonomi Indonesia itu, tidaklah berbeda dengan sistem ekonomi Pancasila (Sri-Edi Swasono, 1985: 121). </div>
<div style="text-align: justify;">
<b> </b><b> Ciri-ciri Sistem Ekonomi Pancasila </b></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut Mubyarto (1993: 53), Sistem Ekonomi Pancasila memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Cornelis Rintuh, 1995: 42): </div>
<ul>
<li> Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral; </li>
<li>Kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah keadaan kemerataan sosial (egalitarianism), sesuai asas-asas kemanusiaan; </li>
<li>Prioritas kebijakan ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh yang berarti nasionalisme menjiwai tiap kebijaksanaan ekonomi; </li>
<li>Koperasi merupakan soko guru perekonomian dan merupakan bentuk yang paling konkrit dari usaha bersama; </li>
<li>Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi untuk menjamin keadilan sosial. </li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Menurut Emil Salim, ciri-ciri di atas dilengkapi dengan pengertian yang berdasarkan pada dokumen-dokumen UUD 1945 dan GBHN, dapat ditarik dari ciri-ciri sistem ekonomi Pancasila sebagai berikut: </div>
<ul>
<li>Peranan negara beserta aparatur ekonomi negara adalah penting, tetapi tidak dominan agar dicegah tumbuhnya sistem etatisme (serba negara). Peranan swasta adalah penting, tetapi juga tidak dominan agar dicegah tumbuhnya free fight liberalism. Dalam sistem ekonomi Pancasila, usaha negara dan swasta tumbuh berdampingan dengan perimbangan tanpa dominasi berlebihan satu terhadap yang lain. </li>
<li>Hubungan kerja antar lembaga-lembaga ekonomi tidka didasarkan pada dominasi modal seperti halnya dalam sistem ekonomi kapitalis. Juga tidak didasarkan atas dominasi buruh seperti halnya dalamsistem ekonomi komunis tetapi asas kekeluargaan, menurut keakraban hubungan antar manusia. </li>
<li>Masyarakat sebagai satu kesatuan memegang peranan sentral. Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-aggota masyarakat. </li>
<li>Negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan yang merupakan pokok bagi kemakmuran rakyat </li>
<li>Tidak bebas nilai, bahkan sistem nilai inilah mempengaruhi kelakuan pelaku ekonomi. (Sri Edi Swasono, 1985: 59-61). </li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Pada akhir-akhir ini banyak diperbincangkan mengenai sistem ekonomi kerakyatan. Seperti yang dikemukakan oleh pakar ekonomi kita Prof. Mubyarto bahwa sistem ekonomi kerakyatan tidaklah berbeda dengan apa yang disebut dengan sistem ekonomi Pancasila. Hanya lebih ditekankan pada sila ke 4 yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03001901382708251635noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6121790378678955150.post-68609837137882272392013-02-15T20:21:00.004-08:002013-02-15T20:21:49.610-08:00Politik Dan Birokrasi Di Indonesia<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: 31.5pt;">
<span lang="SV">Birokrasi
dan politik sebagai dua institusi yang berbeda namun sulit untuk
dipisahkan. Keduanya saling memberikan kontribusi bagi pelaksanaan
pemerintahan daerah yang baik. Institusi politik dan birokrasi melakukan
proses <em>check and balance</em> agar senantiasa berada dalam koridor
esensi otonomi daerah. Interaksi antara kedua institusi tersebut
melahirkan pola relasi yang dinamis konstruktif, namun disisi lain
menampakkan fenomena sebaliknya, yaitu adanya “perselingkuhan” yang
meminggirkan kepentingan publik.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: 31.5pt;">
<span lang="SV">Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa institusi politik dan birokrasi merupakan institusi yang berbeda karakternya. </span><span lang="IN">Birokrasi sebagai suatu sistem organisasi formal dimunculkan pertama sekali</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN">oleh Weber pada tahun 1947, menurutnya</span><span>,</span><span lang="IN">
birokrasi merupakan tipe ideal bagi semua organisasi formal. Ciri
organisasi yang mengikuti sistem birokrasi adalah pembagian kerja dan
spesialisasi, orientasi impersonal, kekuasaan hirarkis,
peraturan-peraturan, karir yang panjang, dan efisiensi.</span><span lang="SV"> Sedangkan institusi politik berkarakter d</span><span lang="IN">emokrasi </span><span lang="SV">yang ditandai oleh </span><span lang="IN">adanya kebebasan sipil dan politik</span><span lang="SV">, seperti </span><span lang="IN">kebebasan berbicara, </span><span lang="SV">menulis</span><span lang="IN">, berkumpul dan berorganisasi, </span><span lang="SV">dan </span><span lang="IN">perdebatan</span><span lang="SV">-perdebatan</span><span lang="IN"> politik</span><span lang="SV">.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: 31.5pt;">
<span lang="SV">Perbedaan kedua institusi ini telah dikemukakan oleh </span><span lang="IN">Wilson (1887-1941) dan Goodnow (1990)</span><span lang="SV">, dimana politik ada dalam ranah</span><span lang="SV"> </span><span lang="IN">kebijakan (<em>policy</em>) dan </span><span lang="SV">birokrasi di ranah </span><span lang="IN">administrasi (<em>administration</em>)</span><span lang="SV">. </span><span lang="SV">Perbedaan
kedua institusi tersebut tentunya akan melahirkan pola relasi yang
dinamis. Dinamika terjadi ketika proses politik berlangsung, saat
birokrasi dan politik sama-sama menjalankan proses penyusunan
aturan-aturan seperti undang-undang, peraturan daerah, dan sebagainya.
Kemudian intensitas relasi dinamis juga terjadi saat birokrasi
menjalankan fungsi implementasi kebijakan berhadapan dengan institusi
politik yang melakukan pengawasan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: 31.5pt;">
<span lang="SV">Pola
relasi yang dinamis antara politik dan birokrasi terjadi ketika ada
keseimbangan relasi diantara keduanya. Pola relasi yang seimbang bukan
pola relasi yang saling mengkooptasi atau berkolaborasi diatas
kepentingan masing-masing dengan meninggalkan kepentingan masyarakat.
Pada dasarnya institusi politik dengan nilai d</span><span lang="IN">emokrasi dan birokrasi sesungguhnya sangat diperlukan dalam proses</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN">pembangunan suatu </span><span lang="SV">daerah</span><span lang="IN">, akan tetapi semakin kuat birokrasi dalam </span><span lang="SV">daerah</span><span lang="IN"> maka</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN">akan semakin rendah demokrasi </span><span lang="SV">lokal </span><span lang="IN">dan sebaliknya semakin lemah birokrasi maka akan</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN">semakin tinggi demokrasi.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: 31.5pt;">
<span lang="SV">Realita saat ini di Indonesia <span> </span>merefleksikan
kesamaan substansi pola relasi politik – birokrasi dalam kebanyakan
negara berkembang yang tengah berada dalam fase transisi demokrasi. Hal
tersebut dapat ditemui dalam ciri-ciri relasi politik – birokrasi
seperti<span> </span></span><span lang="IN">praktek lobi-lobi </span><span lang="SV">untuk </span><span lang="IN">mencari posisi jabatan</span><span lang="SV">,
intervensi politik dalam penentuan jabatan, dan ketidaknyaman pejabat
birokrasi daerah yang berada dalam arena permainan politik daerah.
Eforia demokrasi menyebabkan para politisi justru keluar dari esensi
demokrasi dengan memanfaatkan momentum tersebut untuk kepentingan
pribadi dan golongan. Birokrasi pun akhirnya menyambut perilaku politik
tersebut, sehingga berakhir dengan “perselingkuhan” yang mengkhianati
rakyat.</span><span lang="SV"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: 31.5pt;">
<span lang="SV">Kondisi
pemerintahan daerah di negara-negara yang tengah bertransisi dari
otoriter ke demokrasi ditandai oleh fenomena diantaranya</span><span lang="SV"> </span><span lang="SV">terjadi peningkatan dominasi </span><span lang="IN">lembaga politik </span><span lang="SV">terhadap </span><span lang="IN">birokrasi</span><span lang="SV">. </span><span lang="IN">Lembaga–lembaga politik, seperti parlamenter, partai politik, dan</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN">kelompok kepentingan </span><span lang="SV">mengalami peningkatan kekuatan </span><span lang="IN">dan mampu melakukan kontrol</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN">terhadap birokrasi.</span><span lang="SV"> Pada sisi lain, </span><span lang="IN">masa diluar birokrasi secara politis dan ekonomis pasif, sehingga menyebabkan</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN">lemahnya peranan </span><span lang="SV">mereka untuk mengontrol perilaku menyimpang institusi politik dan birokrasi. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: 31.5pt;">
<span lang="SV">Ketika relasi politik dan birokrasi tidak berkembang ke arah sinergisitas untuk keberhasilan pembangunan di daerah, </span><span lang="IN">maka dapat </span><span>di</span><span lang="IN">simpulkan bahwa </span><span lang="SV">kedua institusi tersebut </span><span lang="IN">cendrung dipertanyakan</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN">kemampuan</span><span lang="SV">nya untuk</span><span lang="IN"> melaksanakan pembangunan,</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN">terutama pembangunan yang mampu mengantisipasi dan menahan gejolak-gejolak</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN">eksternal sehingga bisa mencapai tingkat pertumbuhan yang memadai, yang dapat</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN">mendistribusikan secara merata hasil dari perjuangan masyarakat tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: 31.5pt;">
<span lang="SV">Relasi
politik – birokrasi, sebagaimana dijelaskan Toha diatas, memang sulit
dihindarkan bahkan dapat dikatakan mustahil. Termasuk menghilangkan
motif politik dalam tubuh birokrasi. Birokrasi bahkan telah menjadi
kekuatan politik dengan posisinya sebagai pemilik jaringan struktur
hingga ke basis masyarakat, penguasaan informasi yang memadai, dan
kewenangan eksekusi program dan anggaran. Eksistensi</span><span lang="IN"> birokrasi </span><span lang="SV">sebagai </span><span lang="IN">alat atau mekanisme untuk mencapai tujuan</span><span lang="SV"> yang </span><span lang="IN">baik dan efisien</span><span lang="SV"> dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik atau motif politik tertentu</span><span lang="IN">. </span></div>
<div class="Style3" style="line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 0.5in; text-indent: 31.5pt;">
<span class="CharacterStyle1"><span>Situasi ini digambarkan oleh Fredrickson (2004)<span> </span>yang menunjukkan masuknya peranan pejabat politik dalam menata administrasi pemerintahan. Situasi</span></span><span>, politisasi birokrasi <span class="CharacterStyle1">ini terjadi</span>
khususnya dalam Pilkada, cenderung menghasilkan oligarki, yaitu
kekuasaan berada ditangan sejumlah kecil orang pada puncak partai-partai
politik yang berkuasa. Dominasi peran oleh pejabat politik dalam
periode ini berada dalam posisi yang sangat kuat (<em>legislative heavy</em>)
karena sudah memposisikan diri sebagai lembaga pengambil keputusan dan
penentu tindakan politik sebagai cerminan preferensi atau kehendak
rakyat yang diwakili. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: 31.5pt;">
<span>Kepala
daerah sebagai pejabat Pembina birokrasi di daerah justri memanfaatkan
birokrasi sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan politik dan partai
politik. Kondisi ini justru menempatkan birokrasi pada posisi
subordinasi politik. Dalam pada itu, birokrasi dalam batas tertentu
memang sudah memiliki komitmen untuk menjaga netralitasnya terhadap
kekuatan politik dan golongan yang dominan sehingga betul-betul bisa
berperan secara objektif sebagai abdi negara dan masyarakat. Namun
komitmen tersebut baru sebatas slogan belaka, karena ketidakberdayaan
birokrasi terhadap pejabat Pembina PNS tersebut yang notabenenya adalah
pejabat politik di daerah.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: 31.5pt;">
<span lang="SV">Hal ini yang kemudian menjadikan </span><span lang="IN">birokrasi </span><span lang="SV">sekaligus menjadi </span><em><span lang="IN">instrument of power</span></em><span lang="IN"> yang tidak lepas dari kepentingan sumber kekuasaan itu</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN">sendiri. Aktivitas birokrasi akan dipengaruhi oleh perubahan kepentingan internal</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN">orang-orang yang ada di dalamnya.</span><span lang="IN"> </span><span lang="SV">Birokrasi sebagai kekuatan politik sarat dengan kepentingan politik seperti mempertahankan kekuasaan. </span><span lang="IN">Para pejabat </span><span lang="SV">birokrasi daerah </span><span lang="IN">dalam
pemerintahan senantiasa menjalankan berbagai strategi dan inovasi untuk
memelihara agen-agen dan posisi politiknya. Ada tiga klasifikasi
strategi </span><span>(Wilson, 1989) </span><span lang="IN">yang biasa digunakan untuk mencapai tujuan politik mereka, yaitu melakukan advokasi (<em>advocate</em>), melalui pembuatan keputusan (<em>decision makers</em>), dan memangkas anggaran (<em>budget-cutters</em>). Selain strategi di atas, para pejabat </span><span lang="SV">birokrasi daerah </span><span lang="IN">juga melakukan inovasi-inovasi dalam menjalankan kekuasaannya. Inovasi ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi situasi dan </span><span lang="SV">kondisi serta proses </span><span lang="IN">yang dihadapi oleh organisasi pemerintah.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;">
<span>Relasi politik – birokrasi menunjukkan </span><span lang="IN">Pola hubungan bawahan-atasan</span><span>. Kondisi ini </span><span lang="IN">rentan
untuk disalahgunakan. Kepala Daerah dapat mengeluarkan kebijakan apa
saja terhadap birokrasi yang sesungguhnya menjadi “area kerja” internal
birokrasi. </span><span lang="SV">Seorang bupati</span><span lang="IN">
bisa memasukkan dan mendudukkan “orang-orangnya” di jajaran birokrasi.
Akibatnya di berbagai wilayah, Kepala Daerah bersikap layaknya raja yang
bertindak bebas terhadap birokrasi. Bahkan, Kepala Daerah bisa
“memainkan” birokrasi seperti melakukan mutasi, merekrut dan memasang
orang-orang kepercayaan, serta memanfaatkan seluruh instrumen birokrasi
untuk kepentingan-kepentingan politi</span><span>k</span><span lang="IN"> jangka pendek. </span><span lang="SV">Demikian yang nampak pada pola relasi politik dan birokrasi saat ini.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;">
<span lang="SV">Relasi
politik -birokrasi ditandai oleh adanya intervensi politik. Secara
teoritis, intervensi politik terhadap birokrasi memang sulit
dihindarkan. Ada beberapa penyebab mengapa hal tersebut dapat terjadi. <em>Pertama</em>, masih kuatnya primordialisme politik, dimana ikatan kekerabatan, politik balas budi, <span> </span>keinginan membagun pemerintahan berbasis keluarga, mencari rasa aman, dan perilaku oportunis birokrat. <em>Kedua</em>, mekanisme <em>check and balance</em> belum menjadi budaya dan belum dilaksanakan dengan baik. </span><em><span>Ketiga</span></em><span>, kekuasaan yang dimiliki politisi cenderung untuk korup sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton “<em>power tends to corrupt</em>”.<span> </span><em>Keempat</em>, rendahnya kedewasaan parpol dan ketergantungan tinggi terhadap birokrasi. <em>Kelima</em>, kondisi kesejahteraan aparat birokrat atau PNS di daerah yang rendah cenderung melahirkan praktek <em>rent seeking</em> melalui aktivitas politik tersembunyi demi mendapat <em>income</em> tambahan. <em>Keenam</em>,
perangkat aturan yang belum jelas dan mudah dipolitisasi, seperti
lemahnya instrumen pembinaan pegawai, kode etik belum melembaga, adanya
status kepada daerah sebagai pembina kepegawaian, dan rangkap jabatan
kepala daerah dengan ketua umum parpol.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;">
<span lang="SV">Sebab-sebab
sebagaimana dikemukakan di atas masih sangat kuat terlihat di daerah di
Indonesia. Implikasinya, pola relasi politik dengan birokrasi cenderung
berjalan secara tidak sehat. Relasi politik - birokrasi <span> </span>tidak pada posisi <em>balance</em>,
kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh pejabat birokrasi atas
arahan politik banyak yang tidak sesaui mekanisme dan persyaratan yang
ada, sehingga semakin menjauhkan profesionalisme dan netralitas
birokrasi. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 0.5in; text-align: justify; text-indent: 40.5pt;">
<span lang="SV">Kurniawan
(2009) mengemukakan bahwa tantangan netralitas dan profesionalisme
aparat birokrasi salah satunya kasus kesewenang-wenangan pejabat politik
terhadap pejabat karier. Para pejabat karier merupakan aparat pelaksana
kebijakan pemerintah yang bekerja secara profesional, sehingga sungguh
memprihatinkan jajaran birokrasi ditunggangi kepentingan politik di luar
birokrasi. <span> </span>Oleh karena itu, untuk mempertahankan sikap netral, maka jajaran birokrasi mau tak mau dituntut bersikap profesional.<br />
</span>
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0in 0in 0.0001pt 22.5pt; text-align: justify; text-indent: 41.4pt;">
<span lang="SV">Tantangan
ke depan bukan bagaimana memisahkan dengan tegas diantara keduanya,
melainkan menciptakan pola relasi yang seimbang antara politik dan
birokrasi. Keseimbangan relasi tersebut harus berdasarkan pada kejelasan
dan keseimbangan antara peran dan tanggung jawab kedua institusi
tersebut. </span><span lang="SV">Hal ini sebagaimana tawaran solusi dari Carino (1994) agar relasi politik-birokrasi ditempatkan dalam pola </span><em><span lang="ES">bureaucratic subllation.</span></em><span lang="ES"> </span><span lang="ES">Tipe ini<em> </em>mengacu
pada relasi yang relatif sejajar dan seimbang antara politisi dengan
birokrasi. Pola ini dilatarbelakangai oleh pemahaman bahwa birokrasi
bukanlah sekedar entitas yang menjadi instumen atau alat untuk
melaksanakan kebijakan publik. Birokrasi yang terlatih secara
profesional memiliki sumberdaya dan power tertentu dari kedudukannya
sebagai pejabat pemerintah. Birokrasi biasanya memiliki perjalanan
karier yang lebih panjang dibandingkan dengan politisi yang bisa saja
terpilih secara kebetulan. Argumen <em>bureaucratic subblation </em>adalah, meskipun <em>a politis </em>dan<em> non partisan,</em>
birokrasi juga memiliki power dan sumberdaya tersendiri saat berhadapan
dengan pejabat politik, terutama terkait dengan kemampuan
profesionalnya. Konsekuensinya, birokrasi tidak sekedar menjadi
subordinasi ranah politik, tetapi juga dapat menjadi kekuatan
penyeimbangnya<em>. </em></span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03001901382708251635noreply@blogger.com10tag:blogger.com,1999:blog-6121790378678955150.post-77633916414531019502013-02-15T20:14:00.000-08:002013-02-15T20:14:20.434-08:00<h2>
<strong>Sistematika Penulisan Proposal Skripsi</strong></h2>
<h3 style="text-align: left;">
Untuk proposal skripsi Penelitian Kuantitatif<span style="color: blue;"><strong></strong></span></h3>
<div style="text-align: left;">
HALAMAN JUDUL<br />
HALAMAN PENGESAHAN<br />
DAFTAR ISI<br />
DAFTAR TABEL<br />
DAFTAR GAMBAR<br />
DAFTAR LAMPIRAN</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
BAB I : PENDAHULUAN<br />
A. Latar Belakang Masalah<br />
B. Rumusan Masalah<br />
C. Tujuan Penelitian<br />
D. Kegunaan Penelitian</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA<br />
A. Teori dan Konsep (yang mendukung variabel Penelitian)<br />
1………………………<br />
2. ……………………..<br />
3. …………………….<br />
dst…………………………</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
B. Definisi Konsepsional<br />
C. Operasionalisasi Variabel<br />
D. Hipotesis</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN<br />
A. Jenis Penelitian<br />
B. Tempat dan Waktu Penelitian<br />
C. Populasi dan Sampel<br />
D. Teknik Pengumpulan Data<br />
E. Alat Pengukur Data<br />
F. Teknik Analisis Data</div>
<div style="text-align: left;">
DAFTAR PUSTAKA</div>
<div style="text-align: left;">
LAMPIRAN</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<strong>CONTOH SISTEMATIKA PROPOSAL SKRIPSI</strong><br />
(Penelitian Kuantitatif)<br />
HUBUNGAN ANTARA KINERJA ORGANISASI DENGAN KUALITAS PELAYANAN<br />
PUBLIK DI KANTOR KECAMATAN SAMARINDA ILIR<br />
<br />
HALAMAN JUDUL<br />
HALAMAN PENGESAHAN<br />
DAFTAR ISI<br />
DAFTAR TABEL<br />
DAFTAR GAMBAR<br />
DAFTAR LAMPIRAN<br />
BAB I : PENDAHULUAN<br />
A. Latar Belakang Masalah<br />
B. Rumusan Masalah<br />
C. Tujuan Penelitian<br />
D. Kegunaan Penelitian<br />
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA<br />
E. Teori Dan Konsep<br />
<ol>
<li>Kinerja Organisasi</li>
<li>Pengertian Organisasi</li>
<li>Manajemen Organisasi</li>
</ol>
F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Organisasi<br />
1). Faktor Internal<br />
2). Faktor Eksternal<br />
2. Pelayanan Publik<br />
<ul>
<li> Pegawai Sebagai Abdi Masyarakat</li>
<li>Jenis Pelayanan Publik</li>
<li>Pelayanan Prima</li>
<li>Pelayanan Berorientasi Keadilan</li>
<li>Definisi Konsepsional</li>
<li>Operasionalisasi Variabel</li>
</ul>
G. Hipotesis<br />
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN<br />
<ol>
<li> Jenis Penelitian</li>
<li>Tempat dan Waktu Penelitian</li>
<li>Populasi dan Sampel</li>
<li>Teknik Pengumpulan Data</li>
<li>Alat Pengukur Data</li>
<li>Teknik Analisis Data</li>
</ol>
DAFTAR PUSTAKA<br />
LAMPIRAN<br />
Sistematika Penulisan Proposal Skripsi<br />
(Penelitian Kualitatif)<br />
HALAMAN JUDUL<br />
HALAMAN PENGESAHAN<br />
DAFTAR ISI<br />
DAFTAR TABEL<br />
DAFTAR GAMBAR<br />
DAFTAR LAMPIRAN<br />
BAB I : PENDAHULUAN<br />
A. Latar Belakang Masalah<br />
B. Rumusan Masalah<br />
C. Tujuan Penelitian<br />
D. Kegunaan Penelitian<br />
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA<br />
A. Teori dan Konsep (Yang mendukung Variabel Peneltian)<br />
1………………………<br />
2. ……………………..<br />
3. …………………….<br />
dst………………………..<br />
B. Definisi Konsepsional<br />
C. Fokus Penelitian<br />
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN<br />
A. Jenis Penelitian<br />
B. Tempat dan Waktu Penelitian<br />
C. Sumber Data<br />
D. Teknik Pengumpulan Data<br />
E. Teknik Analisis Data<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
LAMPIRAN<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03001901382708251635noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6121790378678955150.post-88105766617834149792013-02-15T19:55:00.001-08:002013-02-15T19:55:23.137-08:00<span style="font-size: large;"><b><span style="color: magenta;">Political Science Concepts </span></b></span><br />
<i><b><span style="color: magenta;"> </span></b></i><span style="font-size: small;">The concepts listed below are an integral component of the global history and <br />geography core curriculum: <br />• Justice means the fair, equal, proportional, or appropriate treatment <br />rendered to individuals in interpersonal, societal, or government <br />interactions. <br />• Nation-state means a geographic/political organization uniting <br />people by a common government. Citizenship means membership in a <br />community (neighborhood, school, region, state, nation, world) with its <br />accompanying rights, responsibilities, and dispositions. <br />• Political Systems such as monarchies, dictatorships, and <br />democracies address certain basic questions of government such as: What <br />should a government have the power to do? What should a government not <br />have the power to do? A political system also provides for ways that parts of <br />that system interrelate and combine to perform specific functions of <br />government. <br />• Power refers to the ability of people to compel or influence the <br />actions of others. “Legitimate power is called authority.” <br />• Government means the “formal institutions and processes of a <br />politically organized society with authority to make, enforce, and interpret <br />laws and other binding rules about matters of common interest and <br />concern. Government also refers to the group of people, acting in formal <br />political institutions at national, state, and local levels, who exercise <br />decision making power or enforce laws and regulations.” (Taken from: <br />Civics Framework for the 1998 National Assessment of Educational Progress, <br />NAEP Civics Consensus Project, The National Assessment Governing Board, <br />United States Department of Education, p. 19). </span><br />
<span style="font-size: small;">• Decision Making means the processes used to “monitor and influence <br />public and civic life by working with others, clearly articulating ideals and <br />interests, building coalitions, seeking consensus, negotiating compromise, <br />and managing conflict.” (Taken from: Civics Framework, p. 18). <br />• Civic Values refer to those important principles that serve as the <br />foundation for our democratic form of government. These values include <br />justice, honesty, self-discipline, due process, equality, majority rule with <br />respect for minority rights, and respect for self, others, and property. <br />• Human Rights are those basic political, economic, and social rights <br />that all human beings are entitled to, such as the right to life, liberty, and <br />the security of person, and a standard of living adequate for the health and <br />well-being of himself and of his family. Human rights are inalienable and <br />expressed by various United Nations documents including the United Nations <br />Charter and Universal Declaration of Human Rights. </span><br />
<br />Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03001901382708251635noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6121790378678955150.post-89849004493074870122013-02-15T19:44:00.003-08:002013-02-15T19:44:58.221-08:00<h1 class="firstHeading" id="firstHeading" lang="id">
<span dir="auto">Administrasi publik</span></h1>
<b>Administrasi Publik</b> (<a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_inggris" title="Bahasa inggris">Inggris</a>:<i>Public Administration</i>) atau <b>Administrasi Negara</b> adalah suatu bahasan ilmu sosial yang mempelajari tiga elemen penting kehidupan bernegara yang meliputi lembaga <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Legislatif" title="Legislatif">legislatif</a>, <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Yudikatif" title="Yudikatif">yudikatif</a>, dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Eksekutif" title="Eksekutif">eksekutif</a>
serta hal- hal yang berkaitan dengan publik yang meliputi kebijakan
publik, manajemen publik, administrasi pembangunan, tujuan negara, dan
etika yang mengatur penyelenggara negara.<sup class="reference" id="cite_ref-H.G_surie_1-0"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi_publik#cite_note-H.G_surie-1">[1]</a></sup><br />
Secara sederhana, administrasi publik adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana pengelolaan suatu <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Organisasi_publik&action=edit&redlink=1" title="Organisasi publik (halaman belum tersedia)">organisasi publik</a>. Meskipun sama-sama mengkaji tentang organisasi, administrasi publik ini berbeda dengan ilmu <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen" title="Manajemen">manajemen</a>:
jika manajemen mengkaji tentang pengelolaan organisasi swasta, maka
administrasi publik mengkaji tentang organisasi publik/pemerintah,
seperti departemen-departemen, dan dinas-dinas, mulai dari tingkat <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kecamatan" title="Kecamatan">kecamatan</a> sampai tingkat pusat. Kajian ini termasuk mengenai <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi" title="Birokrasi">birokrasi</a>; penyusunan, pengimplementasian, dan pengevaluasian <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_publik" title="Kebijakan publik">kebijakan publik</a>; <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi_pembangunan" title="Administrasi pembangunan">administrasi pembangunan</a>; ke<a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_daerah" title="Pemerintahan daerah">pemerintahan daerah</a>; dan <i><a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Good_governance&action=edit&redlink=1" title="Good governance (halaman belum tersedia)">good governance</a></i>.<br />
<br /><h2>
<span class="mw-headline" id="Lokus_dan_fokus">Lokus dan fokus</span></h2>
<h3>
<span class="mw-headline" id="Lokus">Lokus</span></h3>
Lokus adalah tempat yang menggambarkan di mana ilmu tersebut berada.
Dalam hal ini lokus dari ilmu administrasi publik adalah: kepentingan
publik (public interest) dan urusan publik (public affair).<sup class="reference" id="cite_ref-Nicholas_Henry.1980._dalam_Wahyudi_Kumorotomo_2-0"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi_publik#cite_note-Nicholas_Henry.1980._dalam_Wahyudi_Kumorotomo-2">[2]</a></sup><br />
<h3>
<span class="mw-headline" id="Fokus">Fokus</span></h3>
Fokus adalah apa yang menjadi pembahasan penting dalam memepelajari
ilmu administrasi publik. yang menjadi fokus dari ilmu administrasi
publik adalah teori organisasi dan ilmu manajemen.<sup class="reference" id="cite_ref-Nicholas_Henry.1980._dalam_Wahyudi_Kumorotomo_2-1"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi_publik#cite_note-Nicholas_Henry.1980._dalam_Wahyudi_Kumorotomo-2">[2]</a></sup><br />
<h2>
<span class="mw-headline" id="Sejarah">Sejarah</span></h2>
Ilmu Administrasi Negara lahir sejak <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Woodrow_Wilson" title="Woodrow Wilson">Woodrow Wilson</a> (1887), yang kemudian menjadi presiden Amerika Serikat pada 1913-1921, menulis sebuah artikel yang berjudul <i>“The Study of Administration”</i> yang dimuat di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Jurnal" title="Jurnal">jurnal</a> <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Political_Science_Quarterly&action=edit&redlink=1" title="Political Science Quarterly (halaman belum tersedia)">Political Science Quarterly</a>.
Kemunculan artikel itu sendiri tidak lepas dari kegelisahan Wilson muda
akan perlunya perubahan terhadap praktik tata pemerintahan yang terjadi
di Amerika Serikat pada waktu itu yang ditandai dengan meluasnya
praktik <i>spoil system</i> (sistem perkoncoan) yang menjurus pada terjadinya <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Inefektivitas&action=edit&redlink=1" title="Inefektivitas (halaman belum tersedia)">inefektivitas</a> dan <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Inefisiensi&action=edit&redlink=1" title="Inefisiensi (halaman belum tersedia)">inefisiensi</a> dalam pengelolaan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Negara" title="Negara">negara</a>.
Studi Ilmu Politik yang berkembang pada saat itu ternyata tidak mampu
memecahkan persoalan tersebut karena memang fokus kajian Ilmu Politik
bukan pada bagaimana mengelola pemerintahan dengan efektif dan efisien,
melainkan lebih pada urusan tentang sebuah konstitusi dan bagaimana
keputusan-keputusan politik dirumuskan.<br />
<div class="thumb tright">
<div class="thumbinner" style="width: 202px;">
<a class="image" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Woodrow_Wilson_%28Nobel_1919%29.png"><img alt="" class="thumbimage" height="283" src="http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/9/91/Woodrow_Wilson_%28Nobel_1919%29.png/200px-Woodrow_Wilson_%28Nobel_1919%29.png" width="200" /></a>
<div class="thumbcaption">
<div class="magnify">
<a class="internal" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Woodrow_Wilson_%28Nobel_1919%29.png" title="Perbesar"><img alt="" height="11" src="http://bits.wikimedia.org/static-1.21wmf7/skins/common/images/magnify-clip.png" width="15" /></a></div>
Woodrow Wilson</div>
</div>
</div>
Menurut Wilson, Ilmuwan Politik lupa bahwa kenyataannya lebih sulit
mengimplementasikan konstitusi dengan baik dibanding dengan merumuskan
konstitusi itu sendiri. Sayangnya ilmu yang diperlukan untuk itu belum
ada. Oleh karena itu, untuk dapat mengimplementasikan konstitusi dengan
baik maka diperlukan suatu ilmu yang kemudian disebut Wilson sebagai
Ilmu <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi" title="Administrasi">Administrasi</a>
tersebut. Ilmu yang oleh Wilson disebut ilmu administrasi tersebut
menekankan dua hal, yaitu perlunya efisiensi dalam mengelola <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan" title="Pemerintahan">pemerintahan</a> dan perlunya menerapkan <i>merit system</i>
dengan memisahkan urusan politik dari urusan pelayanan publik. Agar
pemerintahan dapat dikelola secara efektif dan efisien, Wilson juga
menganjurkan diadopsinya prinsip-prinsip yang diterapkan oleh organisasi
bisnis ―<i>the field of administration is the field of business</i>.<br />
Penjelasan ilmiah terhadap gagasan Wilson tersebut kemudian dilakukan oleh <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Frank_J._Goodnow&action=edit&redlink=1" title="Frank J. Goodnow (halaman belum tersedia)">Frank J. Goodnow</a> yang menulis buku yang berjudul: <i>Politics and Administration</i>
pada tahun 1900. Buku Goodnow tersebut seringkali dirujuk oleh para
ilmuwan administrasi negara sebagai "proklamasi‟ secara resmi terhadap
lahirnya Ilmu Administrasi Negara yang memisahkan diri dari induknya,
yaitu Ilmu Politik. Era ini juga sering disebut sebagai era paradigma
dikotomi politik-administrasi. Melalui paradigma ini, Ilmu Administrasi
Negara mencoba mendefinisikan eksistensinya yang berbeda dengan Ilmu <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Politik" title="Politik">Politik</a> dengan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ontologi" title="Ontologi">ontologi</a>, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Epistimologi&action=edit&redlink=1" title="Epistimologi (halaman belum tersedia)">epistimologi</a> dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Aksiologi" title="Aksiologi">aksiologi</a>
yang berbeda. Beberapa tahun kemudian, sebuah buku yang secara
sistematis menjelaskan apa sebenarnya Ilmu Administrasi Negara lahir
dengan dipublikasikannya buku <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Leonard_D._White&action=edit&redlink=1" title="Leonard D. White (halaman belum tersedia)">Leonard D. White</a> yang berjudul <i>Introduction to the Study of Public Administration</i>
pada 1926. Buku White yang mencoba merumuskan sosok Ilmu Administrasi
tersebut pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh berbagai karya ilmuwan
sebelumnya yang mencoba menyampaikan gagasan tentang bagaimana suatu
organisasi seharusnya dikelola secara efektif dan efisien, seperti <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Frederick_Taylor&action=edit&redlink=1" title="Frederick Taylor (halaman belum tersedia)">Frederick Taylor</a> (1912) dengan karyanya yang berjudul <i>Scientific Management</i>, <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Henry_Fayol" title="Henry Fayol">Henry Fayol</a> (1916) dengan pemikirannya yang dituangkan dalam <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Monograf" title="Monograf">monograf</a> yang berjudul <i>General and Industrial Management</i>, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=W.F._Willoughby&action=edit&redlink=1" title="W.F. Willoughby (halaman belum tersedia)">W.F. Willoughby</a> (1918) dengan karyanya yang berjudul <i>The Movement for Budgetary Reform in the State</i>, dan <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Max_Weber" title="Max Weber">Max Weber</a> (1946) dengan tulisannya yang berjudul <i>Bureaucracy</i>.<br />
Era berikutnya merupakan periode di mana para ilmuwan administrasi negara berusaha membangun <i>body of knowledge</i>
ilmu ini dengan terbitnya berbagai artikel dan buku yang mencoba
menggali apa yang mereka sebut sebagai prinsip-pinsip administrasi yang
universal. Tonggak utama dari era ini tentu saja adalah munculnya
artikel <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=L._Gulick&action=edit&redlink=1" title="L. Gulick (halaman belum tersedia)">L. Gulick</a> (1937) yang berjudul <i>Notes on the Theory of Organization</i> di mana dia merumuskan akronim yang terkenal dengan sebutan <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=POSDCORDB&action=edit&redlink=1" title="POSDCORDB (halaman belum tersedia)">POSDCORDB</a> (<i>Planning, Organizing, Staffing, Directing, Co-ordinating, Reporting dan Budgeting</i>).
Tidak dapat dipungkiri, upaya para ahli administrasi negara untuk
mengembangkan body of knowledge ilmu administrasi negara sangat
dipengaruhi oleh ilmu <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen" title="Manajemen">manajemen</a>.
Prinsip-prinsip administrasi sebagaimana dijelaskan oleh para ilmuwan
tersebut pada dasarnya merupakan prinsip-prinsip administrasi yang
diadopsi dari administrasi bisnis yang menurut mereka dapat juga
diterapkan di organisasi pemerintah.<br />
Perkembangan pergulatan pemikiran ilmuwan administrasi negara
diwarnai sebuah era pencarian jati diri Ilmu Administrasi Negara yang
tidak pernah selesai. Kegamangan para ilmuwan administrasi negara dalam
meninggalkan induknya, yaitu Ilmu Politik, untuk membangun eksistensinya
secara mandiri bermula dari kegagalan mereka dalam merumuskan apa yang
mereka sebut sebagai prinsip-prinsip administrasi sebagai pilar pokok
Ilmu Administrasi Negara. Keruntuhan gagasan tentang prinsip-prinsip
administrasi ditandai dengan terbitnya tulisan <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Paul_Applebey&action=edit&redlink=1" title="Paul Applebey (halaman belum tersedia)">Paul Applebey</a> (1945) yang berjudul <i>Government is Different</i>. Dalam tulisannya tersebut Applebey berargumen bahwa institusi pemerintah memiliki karakteristik yang berbeda dengan institusi <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Swasta" title="Swasta">swasta</a>
sehingga prinsip-prinsip administrasi yang diadopsi dari manajemen
swasta tidak serta merta dapat diadopsi dalam institusi pemerintah.
Karya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Herbert_Simon" title="Herbert Simon">Herbert Simon</a> (1946) yang berjudul <i>The Proverbs of Administration</i>
semakin memojokkan gagasan tentang prinsip-prinsip administrasi yang
terbukti lemah dan banyak aksiomanya yang keliru. Kenyataan yang
demikian membuat Ilmu Administrasi Negara mengalami "krisis identitas‟
dan mencoba menginduk kembali ke Ilmu Politik. Namun demikian, hal ini
tidak berlangsung lama ketika ilmuwan administrasi negara mencoba
menemukan kembali fokus dan lokus studi ini.<br />
Kesadaran bahwa lingkungan pemerintahan dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bisnis" title="Bisnis">bisnis</a>
cenderung mengembangkan nilai, tradisi dan kompleksitas yang berbeda
mendorong perlunya merumuskan definisi yang jelas tentang
prinsip-prinsip administrasi yang gagal dikembangkan oleh para ilmuwan
terdahulu. <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Dwiyanto&action=edit&redlink=1" title="Dwiyanto (halaman belum tersedia)">Dwiyanto</a>
(2007) menjelaskan bahwa lembaga pemerintah mengembangkan nilai-nilai
dan praktik yang berbeda dengan yang berkembang di swasta (pasar) dan
organisasi sukarela. Mekanisme <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar" title="Pasar">pasar</a>
bekerja karena dorongan untuk mencari laba, sementara lembaga
pemerintah bekerja untuk mengatur, melayani dan melindungi kepentingan
publik. Karena karakteristik antara birokrasi pemerintah dan organisasi
swasta sangat berbeda, maka para ilmuwan dan praktisi administrasi
negara menyadari pentingnya mengembangkan teori dan pendekatan yang
berbeda dengan yang dikembangkan oleh para ilmuwan yang mengembangkan
teori-teori administrasi bisnis. Dengan kesadaran baru tersebut maka
identitas Ilmu Administrasi Negara menjadi semakin jelas, yaitu ilmuwan
administrasi negara lebih menempatkan proses administrasi sebagai pusat
perhatian (fokus) dan lembaga pemerintah sebagai tempat praktik (lokus).<br />
<h2>
<span class="mw-headline" id="Perubahan_administrasi_negara_ke_administrasi_publik">Perubahan administrasi negara ke administrasi publik</span></h2>
Sejarah tentang perubahan Ilmu Administrasi Negara masih terus
berulang. Upaya mendefinisikan diri Ilmu Administrasi Negara sebagai
ilmu administrasi pemerintahan sebagaimana dijelaskan sebelumnya
ternyata tidak berlangsung lama. Dinamika lingkungan administrasi negara
yang sangat tinggi kemudian menimbulkan banyak pertanyaan tentang
relevansi keberadaan Ilmu Administrasi Negara sebagai administrasi
pemerintahan. Gugatan tersebut terutama ditujukan pada lokus Ilmu
Administrasi Negara yang dirasa tidak memadai lagi. Menurut Dwiyanto
(2007) lembaga pemerintah dirasa terlalu sempit untuk menjadi lokus Ilmu
Administrasi Negara. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa lembaga
pemerintahan tidak lagi memonopoli peran yang selama ini secara
tradisional menjadi otoritas pemerintah. Saat ini semakin mudah ditemui
berbagai lembaga non-pemerintah yang menjalankan misi dan fungsi yang
dulu menjadi <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Monopoli" title="Monopoli">monopoli</a> pemerintah saja. Di sisi yang lain, organisasi <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi" title="Birokrasi">birokrasi</a>
juga tidak semata-mata memproduksi barang dan jasa publik, tetapi juga
barang dan jasa privat. Pratikno (2007) juga memberikan konstatasi yang
sama. Saat ini negara banyak menghadapi pesaing-pesaing baru yang siap
menjalankan fungsi negara, terutama pelayanan publik, secara lebih
efektif. Selain pelayanan publik, dalam bidang pembangunan ekonomi dan
sosial, negara juga harus menegosiasikan kepentingannya dengan
aktor-aktor yang lain, yaitu pelaku bisnis dan kalangan <i>civil society</i> (masyarakat sipil). Secara lebih tegas, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Miftah_Thoha&action=edit&redlink=1" title="Miftah Thoha (halaman belum tersedia)">Miftah Thoha</a>
(2007) bahkan mengatakan telah terjadi perubahan paradigma “ dari
orientasi manajemen pemerintahan yang serba negara menjadi berorientasi
ke pasar (<i>market</i>). Menurut Thoha, pasar di sini secara politik bisa dimaknai sebagai rakyat atau masyarakat (<i>public</i>). Fenomena menurunnya peran negara ini merupakan arus balik dari apa yang disebut <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Grindle&action=edit&redlink=1" title="Grindle (halaman belum tersedia)">Grindle</a> sebagai <i>too much state</i>, di mana negara pada pertengahan 1980-an terlalu banyak melakukan intervensi yang berujung pada jeratan <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hutang" title="Hutang">hutang</a> luar negeri, krisis <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Fiskal" title="Fiskal">fiskal</a>, dan pemerintah yang terlalu <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sentralistis&action=edit&redlink=1" title="Sentralistis (halaman belum tersedia)">sentralistis</a> dan <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Otoriter" title="Otoriter">otoriter</a>.<br />
Dwiyanto (2007) menyebut setidaknya ada empat faktor yang menjadi sebab semakin menurunnya dominasi peran negara, yaitu:<br />
<ol>
<li>Dinamika ekonomi, politik dan budaya yang membuat kemampuan
pemerintah semakin terbatas untuk dapat memenuhi semua tuntutan
masyarakat;</li>
<li><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi" title="Globalisasi">Globalisasi</a>
yang membutuhkan daya saing yang tinggi di berbagai sektor menuntut
makin dikuranginya peran negara melalui debirokratisasi dan deregulasi;</li>
<li>Tuntutan <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Demokratisasi&action=edit&redlink=1" title="Demokratisasi (halaman belum tersedia)">demokratisasi</a>
mendorong semakin banyak munculnya organisasi kemasyarakatan yang
menuntut untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan dan
implementasinya;</li>
<li>munculnya fenomena <i>hybrid organization</i> yang merupakan perpaduan antara pemerintah dan bisnis.</li>
</ol>
Berbagai fenomena tersebut menimbulkan gugatan di antara para
mahasiswa maupun ilmuwan Ilmu Administrasi Negara: Apakah masih relevan
menjadikan pemerintah sebagai lokus studi Ilmu Administrasi Negara?<br />
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa kata "negara‟ dalam Ilmu
Administrasi Negara menjadi terlalu sempit dan kurang relevan lagi untuk
mewadahi dinamika Ilmu Administrasi Negara di awal abad ke-21 yang
semakin kompleks dan dinamis. Utomo (2007) menyebutkan bahwa dalam
perkembangan konsep Ilmu Administrasi Negara telah terjadi pergeseran
titik tekan dari negara yang semula diposisikan sebagai agen tunggal
yang memiliki otoritas untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan
publik menjadi hanya sebagai fasilitator bagi masyarakat. Dengan
demikian istilah <i>public administration</i> tidak tepat lagi untuk
diterjemahkan sebagai administrasi negara, melainkan lebih tepat jika
diterjemahkan menjadi administrasi publik. Sebab, makna kata ‟publik‟ di
sini jauh lebih luas daripada kata ‟negara‟ (Majelis Guru Besar dan
Jurusan Ilmu Administrasi Negara UGM, 2007: x). Publik di sini
menunjukkan keterlibatan institusi-institusi non-negara baik di sektor
bisnis maupun <i>civil society</i> di dalam pengadministrasian pemerintahan.<br />
Konsekuensi dari perubahan makna <i>public administration</i> sebagai
administrasi publik di sini adalah terjadinya pergeseran lokus Ilmu
Administrasi Negara dari yang sebelumnya berlokus pada birokrasi
pemerintah menjadi berlokus pada organisasi publik, yaitu birokrasi
pemerintah dan juga organisasi-organisasi non-pemerintah yang terlibat
menjalankan fungsi pemerintahan, baik dalam hal penyelenggaraan
pelayanan publik maupun pembangunan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi" title="Ekonomi">ekonomi</a>, sosial maupun bidang-bidang pembangunan yang lain.<br />
<h2>
<span class="mw-headline" id="Lingkup">Lingkup</span></h2>
<h3>
<span class="mw-headline" id="Kebijakan_publik">Kebijakan publik</span></h3>
<div class="thumb tleft">
<div class="thumbinner" style="width: 202px;">
<a class="image" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Luther_Gulick_%28social_scientist%29.jpg"><img alt="" class="thumbimage" height="225" src="http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/8/8f/Luther_Gulick_%28social_scientist%29.jpg/200px-Luther_Gulick_%28social_scientist%29.jpg" width="200" /></a>
<div class="thumbcaption">
<div class="magnify">
<a class="internal" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Luther_Gulick_%28social_scientist%29.jpg" title="Perbesar"><img alt="" height="11" src="http://bits.wikimedia.org/static-1.21wmf7/skins/common/images/magnify-clip.png" width="15" /></a></div>
Luther Gulick (1892–1993).</div>
</div>
</div>
Dengan adanya pergeseran makna ‟publik‟ sebagaimana dijelaskan di
atas, maka ilmu administrasi publik telah menemukan lokusnya secara
lebih jelas. Intinya, semua aktivitas yang terjadi pada birokrasi
pemerintah dan organisasi-organisasi non-pemerintah yang menjalankan
fungsi pemerintah menjadi bidang perhatian ilmuwan administrasi publik.
Apabila lokus ilmu administrasi publik menjadi semakin jelas, pertanyaan
berikutnya adalah apa yang seharusnya menjadi fokus perhatian ilmuwan
administrasi publik. Kegelisahan tersebut kemudian dijawab dengan
munculnya studi kebijakan publik sebagai pokok perhatian ilmuwan
administrasi publik. Hal ini merupakan implikasi yang sangat logis
karena kebijakan publik merupakan output utama dari pemerintah
(Dwiyanto, 2007). Bagi pemerintah, kebijakan merupakan instrumen pokok
yang dapat dipakai untuk mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya
memecahkan berbagai persoalan publik <i>(public affairs)</i>. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan kebijakan domestik yang bersifat: <i>distributive policy, protective</i> regulatory policy, competitive regulatory policy, dan redistributive policy (Ripley<i>,</i> 1985: 60).<br />
Dwiyanto (2007) dengan mengutip pendapat <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Denhardt&action=edit&redlink=1" title="Denhardt (halaman belum tersedia)">Denhardt</a>
mengatakan bahwa tingginya minat ilmuwan administrasi publik untuk
memusatkan perhatian pada studi kebijakan semakin meningkatkan keyakinan
bahwa para administrator memiliki intensitas yang tinggi dalam proses
perumusan kebijakan publik. Hal ini juga semakin menguatkan argumen
bahwa ilmu administrasi publik memang tidak dapat dipisahkan dari
induknya <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_Politik" title="Ilmu Politik">Ilmu Politik</a>,
sebab proses perumusan kebijakan itu sendiri tidak hanya dilakukan
melalui tahapan yang bersifat teknokratis akan tetapi juga melampaui
tahapan yang bersifat politis. Tahapan teknokratis dalam proses
perumusan kebijakan memiliki posisi sentral. Sebab, pada tahapan ini
berbagai solusi cerdas sebagai upaya memecahkan persoalan masyarakat
digodok agar dapat dirumuskan serangkaian alternatif kebijakan yang
dapat dipilih oleh para <i>policy maker</i> melalui proses politik.
Pentingnya proses teknokratis dalam pembuatan kebijakan semakin membuat
analisis kebijakan publik menjadi keahlian yang sangat vital yang
dibutuhkan oleh para praktisi administrasi publik.<br />
Berbagai tokoh seperti <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=William_N._Dunn&action=edit&redlink=1" title="William N. Dunn (halaman belum tersedia)">William N. Dunn</a> (1981), <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Carl_Patton&action=edit&redlink=1" title="Carl Patton (halaman belum tersedia)">Carl Patton</a> dan <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=David_Sawicki&action=edit&redlink=1" title="David Sawicki (halaman belum tersedia)">David Sawicki</a> (1983), <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Arnold_J._Meltsner&action=edit&redlink=1" title="Arnold J. Meltsner (halaman belum tersedia)">Arnold J. Meltsner</a>
(1986), dan lain-lain telah menghasilkan berbagai buku penting sebagai
acuan para ilmuwan dan praktisi administrasi publik dalam melakukan
kegiatan analisis kebijakan publik. Selain itu, kenyataan bahwa
kebijakan yang telah dirumuskan tidak selalu menjamin implementasinya
akan berjalan mulus juga memicu munculnya studi implementasi kebijakan
publik di dalam ilmu administrasi publik. Para ilmuwan seperti <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Jeffrey_Pressman&action=edit&redlink=1" title="Jeffrey Pressman (halaman belum tersedia)">Jeffrey Pressman</a> dan Aaron Wildavsky (1984), <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Merilee_Grindle&action=edit&redlink=1" title="Merilee Grindle (halaman belum tersedia)">Merilee Grindle</a>
(1980), Malcolm Goggin et.al (1990) merupakan sebagian ilmuwan yang
menjadi pelopor pengembangan studi implementasi dalam disiplin Ilmu
Administrasi Publik.<br />
<h3>
<span class="mw-headline" id="Manajemen_publik">Manajemen publik</span></h3>
Dengan adanya perkembangan terakhir tersebut menjadikan Ilmu
Administrasi Publik memiliki lokus dan fokus yang lebih jelas. Lokus
studi ini adalah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi" title="Organisasi">organisasi</a> publik, sementara fokus perhatiannya adalah persoalan publik (<i>public affairs</i>)
dan bagaimana persoalan tersebut dipecahkan dengan instrumen kebijakan
publik. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, kegelisahan ilmuwan
administrasi publik tidak hanya berhenti sampai di sini. Buku <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Owen_E._Hughes&action=edit&redlink=1" title="Owen E. Hughes (halaman belum tersedia)">Owen E. Hughes</a> (1998) yang berjudul <i>Public Management and Administration</i> merupakan pemikiran yang memicu perlunya perubahan dalam mendefinisikan Ilmu Administrasi Publik.<br />
Jika di masa-masa sebelumnya yang dipersoalkan adalah makna <i>public</i> pada <i>public administration</i>
yang kemudian bergeser dari administrasi negara menjadi administrasi
publik, Hughes memulai diskusi dengan menganjurkan untuk menggunakan
istilah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen" title="Manajemen">manajemen</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Publik" title="Publik">publik</a>
daripada administrasi publik. Pemikiran Hughes tersebut memang tidak
dapat dipisahkan dari perkembangan paradigma Ilmu Administrasi Publik
yang terjadi pada era 1990an yang mencoba memperbarui mekanisme
pengelolaan birokrasi publik yang dikenal sangat hirarkis, lamban, dan
tidak efisien dengan mengadopsi prinsip-prinsip yang diterapkan pada
manajemen bisnis. Keluhan tentang tidak relevannya prinsip-prinsip
birokrasi <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Weberian&action=edit&redlink=1" title="Weberian (halaman belum tersedia)">Weberian</a> sudah sering disampaikan.<br />
Apa yang disampaikan oleh Al Gore sebagaimana dikutip oleh Hughes (1998: 3) tentang buruknya sistem <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi" title="Birokrasi">birokrasi</a> yang bekerja atas dasar prinsip <i>Old Public Administration</i> barangkali mewakili pemimpin negara yang lain:<br />
<dl><dd><i>[…] in today‘s world of rapid change, lightning-quick information
technologies, tough global competition, and demanding customers, large,
top-down bureaucracies –public or private—don‘t work very well</i>.</dd></dl>
Merespon persoalan tersebut, beberapa pemikir kemudian mengajukan gagasan mereka, seperti: <i>managerialism
(Pollit, 1993), new public management (Hood, 1991), market-based public
administration (Lan, Zhioying & Rosenbloom, 1992), dan
post-bureaucratic paradigm (Barzelay, 1992)</i>. Namun yang paling fenomenal tentu saja pemikiran Osborne dan Gaebler (1992) tentang <i>entrepreneurial government</i> yang ditulis dalam buku mereka yang menjadi <i>best seller</i>, yaitu <i>Reinventing Government</i>. Gagasan mereka kemudian diadopsi secara luas di berbagai negara setelah pemerintahan <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Clinton" title="Clinton">Clinton</a>-<a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Gore&action=edit&redlink=1" title="Gore (halaman belum tersedia)">Gore</a> di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Amerika_Serikat" title="Amerika Serikat">Amerika Serikat</a>
mengadopsinya secara sukses. Selain di Amerika, gagasan untuk
mengembangkan paradigma public managerialism dalam disiplin Ilmu
Administrasi Publik juga terjadi di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Eropa" title="Eropa">Eropa</a>, terutama di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Inggris" title="Inggris">Inggris</a> ketika tekanan terhadap keterbatasan anggaran bagi penyediaan layanan publik telah memaksa pemerintahan <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Margaret_Thacher&action=edit&redlink=1" title="Margaret Thacher (halaman belum tersedia)">Margaret Thacher</a>
untuk menerapkan berbagai upaya guna lebih mengefisienkan pelayanan
publik di Inggris. Rhodes (1991) menyerukan perlunya diterapkan semboyan
“3Es” atau <i>economy, efficiency dan effectiveness</i> agar pelayanan publik di Inggris menjadi lebih efisien.<br />
Berbagai realitas sebagaimana digambarkan di atas membawa pada suatu
cakrawala baru di antara para ilmuwan administrasi negara untuk sampai
pada suatu kesimpulan bahwa administrasi publik yang berkonotasi sempit
perlu diubah menjadi manajemen publik yang lebih memiliki jangkauan yang
lebih luas sebagaimana dikatakan oleh Hughes (1998: 4): It is argued
here that administration is a narrower and more limited function than
management […]. Dalam argumentasinya lebih lanjut, Hughes mengatakan
bahwa menurut definisi kamus, kata "manajemen‟ memiliki makna yang lebih
luas dibandingkan "administrasi‟. Dari berbagai definisi kamus yang ada
(<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Oxford_English_Dictionary" title="Oxford English Dictionary">Oxford English Dictionary</a>, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Webster_Dictionary&action=edit&redlink=1" title="Webster Dictionary (halaman belum tersedia)">Webster Dictionary</a>
dan Latin Dictionary) dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa administrasi
lebih dimaknai sebagai proses dan prosedur yang harus dipatuhi oleh
seorang administrator dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan
pelayanan publik. Sedangkan manajemen memiliki arti lebih luas, yaitu
tidak hanya sekedar mengikuti prosedur, melainkan berkaitan juga dengan:
pencapaian target dan tanggung jawab bagi manajer untuk mencapai
target-target yang telah ditetapkan.<br />
Selain alasan tersebut, Hughes (1998: 6) juga menyebut semakin
meluasnya penggunaan istilah "manajemen‟ dan "manajer‟ di sektor publik.
Sementara di sisi yang lain, penggunaan istilah ‟administrasi‟ justru
mengalami penurunan. Di Indonesia sendiri, sejak <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pemerintahan_Kolonial_Belanda&action=edit&redlink=1" title="Pemerintahan Kolonial Belanda (halaman belum tersedia)">pemerintahan Kolonial Belanda</a>
berakhir, penggunaan istilah ‟administrasi‟ di dalam birokrasi
pemerintah semakin jarang digunakan. Kalaupun digunakan, istilah
‟administrasi‟ telah mengalami kemerosotan makna sebagai konsep untuk
menggambarkan pekerjaan ketik-mengetik atau sesuatu yang berkaitan
dengan pemenuhan prosedur surat-menyurat (cf. Utomo, 2007: 131). Apa
yang terjadi tersebut menunjukkan bahwa istilah ‟manajemen‟ memiliki
makna lebih superior dibandingkan istilah "administrasi‟. Oleh karena
itu Hughes (1998: 6) kemudian mengatakan bahwa:<br />
<dl><dd><i>As part of the general process public administration‘ has clearly
lost favor as a description of the work carried out; the term manager‘
is more common, where once administrators‘ was used</i>.</dd></dl>
Dukungan terhadap pendapat Hughes juga diberikan oleh Pollitt (1993: vii) yang menyebutkan: <i>formerly
they were called administrators‘, principal officers‘, finance
officers‘ atau assistant directors‘. Now, they are managers‘</i>. Tentu
saja, pentingnya perubahan dari administrasi menjadi manajemen bukan
hanya sekedar sebuah pergantian istilah. Perubahan tersebut akan
berimplikasi pada bangun teoritis yang perlu dikembangkan untuk
mendukung perubahan nama dari administrasi menjadi manajemen, misalnya
menyangkut bagaimana akuntabilitas disampaikan, hubungan eksternal, dan
konsepsi tentang pemerintahan sendiri yang juga akan turut berubah.<br />
Konsekuensi dari perubahan nama "administrasi publik‟ ke "manajemen
publik‟ secara epistimologis juga berpengaruh terhadap cara bagaimana
ilmuwan administrasi publik ke depan mengembangkan ilmu ini. Jika selama
ini ilmuwan administrasi publik lebih berkutat pada diskusi yang
bersifat filosofis tentang administrasi, standar etika dan norma bagi
manajer publik dalam menjalankan tugasnya, maka ke depan jika
administrasi publik berubah menjadi manajemen publik, orientasi keilmuan
dari disiplin ini juga akan bergeser pada hal-hal yang lebih empirikal
tentang bagaimana mengembangkan keilmuan untuk membantu manajer publik
mencapai tujuan organisasi, bagaimana meningkatkan kemampuan manajerial
mereka dan bagaimana meningkatkan akuntabilitas para manajer publik
tersebut di depan masyarakat. Untuk itu di masa depan ilmuwan
administrasi publik harus memahami:<br />
<ol>
<li>semakin meningkatnya tekanan terhadap sektor publik untuk melakukan <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Restrukturisasi&action=edit&redlink=1" title="Restrukturisasi (halaman belum tersedia)">restrukturisasi</a> dan menyerahkan urusan kepada sektor swasta;</li>
<li>bagaimana membuat keputusan yang secara ekonomis menguntungkan dengan mempelajari <i>public choice theory, principal/agent theory</i> dan <i>transaction cost theory;</i></li>
<li>perubahan-perubahan lingkungan di sektor swasta seperti kompetisi yang semakin meningkat dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi" title="Globalisasi">globalisasi</a>;</li>
<li>terjadinya perubahan teknologi informasi yang dapat membantu manajer
publik untuk menyelesaikan berbagai persoalan mereka sehingga ilmuwan
manajemen publik ke depan harus belajar perkembangan teknologi informasi
untuk diadopsi menjadi <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/E-government" title="E-government">e-government</a></li>
</ol>
Pemikiran untuk mengubah nama "administrasi‟ menjadi "manajemen‟
sebenarnya bukan sesuatu yang aneh jika kita merujuk kembali pada
gagasan awal yang dikembangkan oleh Wilson (1887: 16) tentang Ilmu
Administrasi yang Ia katakan sebagai berikut: <i>This is why there
should be a science of administration which shall seek to straighten the
paths of government, to make it business less unbusinesslike</i>. Namun
demikian, tentu saja manajemen publik yang dikembangkan oleh ilmuwan
administrasi publik di masa mendatang jelas akan berbeda dengan
manajemen bisnis sebagaimana dikembangkan oleh ilmuwan di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis.<br />
<h2>
<span class="mw-headline" id="Dinamika_administrasi_publik_di_Indonesia">Dinamika administrasi publik di Indonesia</span></h2>
Dinamika perkembangan disiplin Ilmu Administrasi Publik sebagaimana
diuraikan di depan merefleksikan pencarian ilmuwan administrasi negara
terhadap fokus dan lokus dari disiplin ilmu ini yang tiada pernah
berhenti. Sebagai wadah yang menjadi naungan para ilmuwan administrasi
negara di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Gadjah_Mada" title="Universitas Gadjah Mada">Universitas Gadjah Mada</a>,
Jurusan Ilmu Administrasi Negara tidak lepas dari dinamika tersebut.
Sejak kelahirannya di Universitas Gadjah Mada pada 1957, dinamika
keilmuan para dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara tercermin dari <i>research interest</i>
dan arus pemikiran mereka. Kumpulan naskah pidato enam Guru Besar
Jurusan Ilmu Administrasi Negara yang diterbitkan oleh Majelis Guru
Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada
(2007) secara nyata mencerminkan betapa pandangan keilmuan dan pemikiran
para Guru Besar Jurusan Ilmu Administrasi Negara secara substansi terus
berubah dari waktu ke waktu sebagai upaya merespon dan mengikuti
perkembangan dinamika keilmuan administrasi negara yang terjadi pada
aras internasional.<br />
Sayangnya, dinamika keilmuan yang terjadi selama lebih dari enam
dasawarsa tersebut belum tercermin dari wadahnya, yaitu nama Jurusan
Ilmu Administrasi Negara tempat yang nota bene menjadi tempat civitas
akademis Jurusan bernaung. Nama Jurusan Ilmu Administrasi Negara
tersebut sudah tidak mampu mencerminkan aktivitas akademis warga Jurusan
yang sangat beragam sebagai konsekuensi dinamika perkembangan Ilmu
Administrasi Negara sebagaimana diuraikan secara panjang lebar dalam
naskah ini. Oleh karena itu agar dinamika keilmuan warga Jurusan Ilmu
Administrasi Negara dapat tergambar secara utuh dari wadahnya maka warga
Jurusan Ilmu Administrasi Negara telah sepakat untuk mengusulkan
perubahan nama Jurusan, yaitu dari sebelumnya bernama Jurusan Ilmu
Administrasi Negara menjadi Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik. Nama
Jurusan yang baru tersebut secara gamblang mencerminkan lokus dan fokus
ilmu ini sebagaimana dipaparkan dalam naskah ini.<br />
<br /><h2>
<span class="mw-headline" id="Rujukan">Rujukan</span></h2>
<div class="references-small" style="list-style-type: decimal;">
<ol class="references">
<li id="cite_note-H.G_surie-1"><b><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi_publik#cite_ref-H.G_surie_1-0">^</a></b> <span class="reference-text">ilmu administrasi negara, suatu bacaan pengantar, 1986. Jakarta: PT gramedia. Hal :3-12</span></li>
<li id="cite_note-Nicholas_Henry.1980._dalam_Wahyudi_Kumorotomo-2"><b>^</b> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi_publik#cite_ref-Nicholas_Henry.1980._dalam_Wahyudi_Kumorotomo_2-0"><sup>a</sup></a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi_publik#cite_ref-Nicholas_Henry.1980._dalam_Wahyudi_Kumorotomo_2-1"><sup>b</sup></a> <span class="reference-text">Etika Administrasi Negara,1980. Rajawali, hal 121-122.</span></li>
</ol>
</div>
<ul>
<li>Henry, Nicholas (2004). <i>Public Administration and Public Affairs</i>. 9th Ed. Upper Sadle River. New Jersey: Pearson Prentice-Hall</li>
<li>Shafritz, Jay M. & Hyde, Albert C.(1992). <i>Classics Of Public Administration</i>. 3rd Ed. California: Brooks/Cole Publishing Company Pacific Grove.</li>
</ul>
<h2>
<span class="mw-headline" id="Bahan_bacaan">Bahan bacaan</span></h2>
<ul>
<li>Applebey, P. 1945. "Government is Different‟, dalam Shafritz, J.M.
& Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort
Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.</li>
<li>Barzelay, M. 1992. Breaking Through Bureaucracy: A New Vision for
Managing in Government. Berkeley and Los Angeles: University of
California Press. Bozeman, B. & Straussman, J. 1990. Public
Management Strategies, Sanfrancisco: Jossey-Bass.</li>
<li>Darwin, M.M. 2007. "Revitalisasi Nasionalisme Madani dan Penguatan
Negara di Era Demokrasi‟, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.</li>
<li>Dunn, W.N. 1981. Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Prentice Hall.</li>
<li>Dwiyanto, A. 2007. "Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: dari
Government ke Governance‟, dalam Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu
Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (Eds.), Dari Administrasi
Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: GadjahMada University Press.</li>
<li>Fayol, H. 1916. General and Industrial Management. London: Pitman and Sons, Ltd.</li>
<li>Goggin, M.L, Bowman, A.O, Lester, J.P, & O‟toole, Jr., L.J.
1990. Implementation Theory and Practice Toward a Third Generation.
Glenview, Illinois, etc.: Foresman and Company.</li>
<li>Goodnow, F.J. 1900. "Politics and Administration‟, dalam Shafritz,
J.M & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration.
Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.</li>
<li>Grindle, M.S. 1980. Politic and Policy Implementation in the Third World. Princenton: Princenton University Press.</li>
<li>Grindle, M.S. 1997. "The Good Government Imperative”, dalam Grindle,
M.S. (Ed.). Getting Good Government: Capacity Building in the Public
Sectors of Developing Countries. Harvard University Press.</li>
<li>Gullick. L. 1937. "Notes on the Theory of Organization‟, dalam
Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public
Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.</li>
<li>Henry, N. 1990. Public Administration and Public Affairs. New Jersey: Prentice-Hall International Inc.</li>
<li>Willougby, W. 1918. "The Movement for Budgetary Reform in the
States‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of
Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College
Publishers.</li>
<li>Wilson, W. 1887. "The Study of Administration‟, dalam Shafritz, J.M.
& Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort
Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.</li>
</ul>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03001901382708251635noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6121790378678955150.post-86041623268248463262013-02-15T19:38:00.001-08:002013-02-15T19:38:21.589-08:00Konsep Good Governance<div class="western" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><b>A. Arti Dan Definisi </b></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i><b>Good Governance</b></i></span></div>
<br />
<div class="western" style="text-align: justify; text-indent: 1.25cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Istilah </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>Governance</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">
menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya,
institusi dan sumber-sumber social dan politiknya tidak hany
dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan integrasi,
kohesi dan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, bahwa kemampuan
suatu Negara mencapai tujuan Negara sangat tergantung pada kualitas
tata kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan sector
swasta dan masyarakat </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><b>(Thoha dalam Kurniawan, 2005). </b></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Secara konseptual pengertian kata baik </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>(good)</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> dalam istilah kepemerintahan yang baik (</span><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">good governance) </span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">mengandung dua pemahaman, yakni :</span></span></i></div>
<br />
<ol style="text-align: justify;">
<li><div class="western">
<i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">Nilai
yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan
nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian
tujuan nasional kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan
sosial. </span></span></i> </div>
</li>
<li><div class="western">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut. </span> </div>
</li>
</ol>
<br />
<div class="western" style="text-align: justify; text-indent: 1.25cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Dalam Kamus bahasa Indonesia </span><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">good governance </span></i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">diterjemahkan
sebagai tata pemerintahan yang baik, namun ada yang menerjemahkan
sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Di samping itu, arti
yang lain </span><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">good governance </span></i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">sebagai pemerintahan yang amanah. Jika </span><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">good governance </span></i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">diterjemahkan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, maka </span><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">good governance </span></i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">dapat
didefinisikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan secara partisipatif,
efektif, jujur, adil, transparan dan bertanggungjawab kepada semua
level pemerintahan (Effendi dalam Azhari, dkk., 2002: 187).</span></div>
<br />
<div class="western" style="text-align: justify; text-indent: 1.25cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Definisi </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>good governance</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> menurut ahli dan institusi negara, yakni antara lain :</span></div>
<br />
<ol style="text-align: justify;">
<li><div class="western">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><b>Kooiman (1993)</b></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> bahwa </span><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">governance</span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">
merupakan serangkaian proses interaksi sosial politik antara
pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan
dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas
kepentingan-kepentingan tersebut. </span></span></i> </div>
</li>
<li><div class="western">
<i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;"><b>World Bank </b></span></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;"><b>(dalam Mardiasmo, 2002 : 23).</b></span></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> </span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">ialah
suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan
bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang
efisien, penghindaran terhadap kemungkinan salah alokasi dan investasi,
dan pencegahan korupsi baik yang secara politik maupun administratif,
menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan </span></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">politicall framework</span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;"> bagi tumbuhnya aktivitas usaha.</span></span></i></div>
</li>
<li><div class="western">
<i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><b>United Nations Development Program</b></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><b> (UNDP)</b></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;"><b> </b></span></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">dalam dokumen kebijakannya yang berjudul </span></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><b>“Governance for sustainable human development”, (1997),</b></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> </span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">mendefinisikan kepemerintahan</span></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> (governance) </span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">adalah
pelaksanaan kewenangan dan atau kekuasaan di bidang ekonomi, politik
dan administratif untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap
tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong
terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial
dalam masyarakat. </span></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">United Nations Development Program</span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> </span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">(UNDP) juga mendefinisikan </span></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">good governance</span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;"> sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan </span></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">society</span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">. </span></span></i> </div>
</li>
<li><div class="western">
<i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;"><b>Lembaga Administrasi Negara (Kurniawan, 2005), </b></span></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">mendefinisikan </span></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">good governance </span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">sebagai
penyelenggaraan pemerintahan Negara yang solid dan bertanggung jawab,
serta efisien dan efektif dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang
konstruktif di antara domain-domain Negara, sektor swasta dan
masyarakat </span></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">(society)</span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">. </span></span></i> </div>
</li>
<li><div class="western">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><b>Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000,</b></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> merumuskan arti </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>good governance</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">
sebagai berikut : “Kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan
prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan
prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum dan dapat
diterima oleh seluruh masyarakat”. </span> </div>
</li>
</ol>
<br />
<div class="western" style="text-align: justify; text-indent: 1.25cm;">
<i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Good governance</span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">
dilaksanakan agar kinerja pemerintahan daerah lebih terarah sesuai
dengan kemampuan dan kapasitas yang memadai guna mencapai hasil yang
lebih baik dan terciptanya struktur pemerintahan yang ideal yang
berorientasi pada tujuan pembangunan nasional. Berdasarkan pengertian
dan definisi di atas, </span></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">good governance</span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;"> berorientasi pada :</span></span></i></div>
<br />
<ol style="text-align: justify;"><ol>
<li><div class="western">
<i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">Orientasi
ideal, negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional.
Orientasi ini bertitik tolak pada demokratisasi dalam kehidupan
bernegara dengan elemen konstituennya.</span></span></i></div>
</li>
<li><div class="western">
<i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">Pemerintahan
yang berfungsi secara ideal, secara efektif dan efisien dalam
melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi kedua ini
tergantung pada sejauhmana pemerintah mempunyai kompetensi, dan
sejauhmana struktur serta mekanisme politik serta administratif
berfungsi secara efektif dan efisien.</span></span></i></div>
</li>
</ol>
</ol>
<br />
<div class="western" style="text-align: justify; text-indent: 1.27cm;">
<i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;"><b>Lembaga Administrasi Negara (2000)</b></span></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;"> menyimpulkan bahwa wujud </span></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">good governance </span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">penyelenggaraan
pemerintahan yang solid dan bertanggungjawab, serta efisien dan
efektif, dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif
diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat. Sehingga
unsur-unsur dalam kepemerintahan </span></span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">(governance stakeholders)</span></i><i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;"> dapat dikelompokan menjadi tiga kategori yaitu :</span></span></i></div>
<br />
<ol style="text-align: justify;">
<li><div class="western" style="margin-bottom: 0cm;">
<i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">Pemerintahan (negara)</span></span></i></div>
</li>
</ol>
<br />
<div class="western" style="margin-bottom: 0cm; margin-left: 0.48cm; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">Negara
yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Konsepsi pemerintahan
pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari
melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat madani.</span></span></i></div>
<br />
<ol start="2" style="text-align: justify;">
<li><div class="western" style="margin-bottom: 0cm;">
<i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">Sektor Swasta</span></span></i></div>
</li>
</ol>
<br />
<div class="western" style="margin-left: 0.48cm; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">Pelaku
sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi
dalam sistem pasar, seperti : industri pengolahan perdagangan,
perbankan, dan koperasi termasuk kegiatan sektor informal.</span></span></i></div>
<br />
<ol start="3" style="text-align: justify;">
<li><div class="western" style="margin-bottom: 0cm;">
<i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">Masyarakat Madani </span></span></i> </div>
</li>
</ol>
<br />
<div class="western" style="margin-left: 0.48cm; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-style: normal;">Kelompok
masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada diantara atau
ditengah-tengah antara pemerintah, mencakup baik perseorangan maupun
kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik dan
ekonomi. </span></span></i> </div>
<br />
<div class="western" style="margin-left: 0.48cm; text-align: justify;">
<br />
<br />
</div>
<br />
<div class="western" style="margin-bottom: 0cm; margin-left: 6.4cm; text-align: justify; text-indent: -6.4cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><b>B. Prinsip </b></span></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><i><b>Good Governance</b></i></span></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><b> </b></span></span> </div>
<br />
<div class="western" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><b> </b></span></div>
<br />
<div class="western" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><b> </b></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Prinsip dasar yang melandasi perbedaan antara konsepsi kepemerintahan </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>(governance)</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">
dengan pola pemerintahan yang tradisional, adalah terletak pada adanya
tuntutan yang demikian kuat agar peranan pemerintah dikurangi dan
peranan masyarakat (termasuk dunia usaha dan LSM/organisasi non
pemerintah) semakin ditingkatkan dan semakin terbuka aksesnya. Rencana
Strategis Lembaga Administrasi Negara tahun 2000-2004, disebutkan
perlunya pendekatan baru dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan
dan terarah pada terwujudnya kepemerintahan yang baik yakni “proses
pengelolaan pemerintahan yang demokratis, profesional menjunjung tinggi
supremasi hukum dan hak asasi manusia, desentralistik, partisipatif,
transparan, keadilan, bersih dan akuntabel, selain berdaya guna,
berhasil guna dan berorientasi pada peningkatan daya saing bangsa”. </span> </div>
<br />
<div class="western" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> Selain itu, </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><b>Bhatta (1996)</b></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> mengungkapkan pula bahwa unsur utama </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>governance,</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> yaitu: akuntabilitas </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>(accountability)</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">, transparan </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>(transparency)</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">, keterbukaan </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>(opennes),</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> dan aturan hukum </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>(rule of law)</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> ditambah dengan kompetensi manajemen </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>(management competence)</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> dan hak-hak asasi manusia </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>(human right)</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">. </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><b>UNDP (dalam</b></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><b> Mardiasmo</b></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i><b>,</b></i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><b> 2002) </b></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip pada pelaksanaan </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>good governance</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">meliputi :</span></div>
<br />
<ol style="text-align: justify;">
<li><div class="western" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Partisipasi </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>(participation)</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">,
keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara
langsung maupun tidak langsung, melalui lembaga perwakilan yang dapat
menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar
kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara
konstruktif.</span></div>
</li>
<li><div class="western" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Aturan hukum </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>(rule of law)</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">,
kerangka aturan hukum dan perundang-undangan yang berkeadilan dan
dilaksanakan secara utuh, terutama tentang hak asasi manusia.</span></div>
</li>
<li><div class="western" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Transparansi </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>(transparency),</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">
transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi.
Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung
dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.</span></div>
</li>
<li><div class="western" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Daya tanggap </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>(responsivennes),</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">
setiap institusi/lembaga-lembaga publik dan prosesnya harus diarahkan
pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>(stakeholders).</i></span></div>
</li>
<li><div class="western" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Berorientasi konsensus </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>(Consensus orientation)</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">,
Pemerintahan yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai
kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang
terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan
juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang
ditetapkan oleh pemerintah serta berorientasi pada kepentingan
masyarakat yang lebih luas.</span></div>
</li>
<li><div class="western" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Keadilan </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>(equity),</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> setiap masyarakat memiliki kesempatan sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.</span></div>
</li>
<li><div class="western" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Efektivitas dan Efisiensi </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>(Efficiency and Effectivennes),</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">
setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan
sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan
yang sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia serta
pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien)
dan berhasil guna (efektif).</span></div>
</li>
<li><div class="western" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Akuntabilitas </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>(accountability),</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">
para pengambil keputusan dalam organisasi publik, swasta, dan
masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban kepada publik atas setiap
aktivitas kegiatan yang dilakukan.</span></div>
</li>
<li><div class="western" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Visi strategis </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>(strategic vision),</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">
penyelenggara pemerintahan yang baik dan masyarakat harus memiliki
visi yang jauh ke depan agar bersamaan dirasakannya kebutuhan untuk
pembangunan tersebut. </span> </div>
</li>
</ol>
<br />
<div style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.27cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Keseluruhan karakteristik atau prinsip </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>good governance</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">
tersebut adalah saling memperkuat dan saling terkait serta tidak bisa
berdiri sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat empat
prinsip utama yang dapat memberi gambaran adminisitrasi publik yang
berciri kepemerintahan yang baik yaitu sebagai berikut :</span></div>
<br />
<ol style="text-align: justify;"><ol>
<li><div class="western" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>Akuntabilitas</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">,
adanya kewajiban bagi aparatur pemeritah untuk bertindak selaku
penanggung jawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan
kebijakan yang ditetapkannya.</span></div>
</li>
<li><div class="western" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>Transparansi</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>,</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> kepemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadap rakyatnya baik ditingkat pusat maupun daerah.</span></div>
</li>
<li><div class="western" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>Keterbukaan</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">,
menghendaki terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan
tanggapan dan kritik terhadap pemerintah yang dinilainya tidak
transparan.</span></div>
</li>
<li><div class="western" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>Aturan hukum</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">,
kepemerintahan yang baik mempunyai karakteristik berupa jaminan
kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan
publik yang ditempuh. </span> </div>
</li>
</ol>
</ol>
<br />
<div style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.27cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><b>Robert Hass (dalam Sedarmayanti, 2000)</b></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> juga memberi indikator tentang </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>“good governance” </i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">yang meliputi lima indikator, antara lain : Melaksanakan hak asasi manusia, </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Masyarakat
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik, Melaksanakan hukum
untuk melindungi kepentingan masyarakat, Mengembangkan ekonomi pasar
atas dasar tanggung jawab kepada masyarakat, Orientasi politik
pemerintah menuju pembangunan. </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Indikator </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>good governance</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">
yang disampaikan oleh Robert Hass di atas sangatlah ringkas dan padat,
namun berorientasi pada tiga elemen pemerintahan yang berpengaruh
terhadap penyelenggaraan </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>good governance</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">,</span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><b> </b></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">yakni pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Menurut pendapat Ganie Rochman, </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>good governance</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> memiliki empat unsur utama, yang meliputi </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>accountability</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">, </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>rule of law</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">, informasi dan transparansi </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><b>(Sadjijono, 2005:195).</b></span></div>
<br />
<div class="western" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.27cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Nilai yang terkandung dari pengertian serta karakteristik </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>good governance </i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">tersebut
di atas merupakan nilai-nilai yang universal sifatnya dan sesuai amanat
konstitusi, karena itu diperlukan pengembangan dan penerapan sistem
pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna dan
berhasil guna. Kondisi semacam ini ini perlu adanya akuntabilitas dan
tersedianya akses yang sama pada informasi bagi masyarakat luas. Hal ini
merupakan fondasi legitimasi dalam sistem demokrasi, mengingat prosedur
dan metode pembuatan keputusan harus transparan agar supaya
memungkinkan terjadinya partisipasi efektif. Di samping itu, institusi </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>governance</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> harus efisien dan efektif dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, responsif terhadap kebutuhan masyarakat </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><b>(Kurniawan, 2005:16). </b></span> </div>
<br />
<div class="western" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.23cm;">
<span style="font-family: Calibri,sans-serif;">Penerapan prinsip-prinsip </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>good governance</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"> tidak terlepas dari peran masyarakat, dan </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>stakeholder</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">
yang berkepentingan (sektor swasta, LSM/NGOs dan elit politik) demi
memajukan pembangunan serta pemerintahan daerah yang berguna bagi
masyarakat. Dengan demikian, maka wujud </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>good governance</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">
adalah pelaksanaan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang solid, kondusif dan bertangung jawab dengan menjaga kesinergisan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Terselenggaranya </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>good governance</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">
merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam
mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Oleh karena itu,
diperlukan pengembangan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat,
jelas, nyata dan </span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;"><i>legitimate</i></span><span style="font-family: Calibri,sans-serif;">
sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan berlangsung
secara berkesinambungan, berdaya guna, berhasil guna, bersih dan
bertanggung jawab serta bebas dari KKN. </span> </div>
<br />
<div class="western" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.27cm;">
<br />
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03001901382708251635noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6121790378678955150.post-48533905186352168992013-02-15T19:33:00.002-08:002013-02-15T19:33:50.657-08:00<h3 class="post-title entry-title">
Definisi Ilmu Politik Dan Sejarah Perkembangannya
</h3>
<div class="post-header">
</div>
Definisi Ilmu Politik<br /><br />Sebelum mendefinisikan apa itu ilmu
politik, maka perlu diketahui lebih dulu apa itu politik. Secara
etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani ”polis” yang berarti kota
yang berstatus negara. Secara umum istilah politik dapat diartikan
berbagai macam kegiatan dalam suatu negara yang menyangkut proses
menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan
itu.<br /><br />Menurut Miriam Budiardjo dalam buku ”Dasar-dasar Ilmu
Politik”, ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari tentang
perpolitikan. Politik diartikan sebagai usaha-usaha untuk mencapai
kehidupan yang baik. Orang Yunani seperti Plato dan Aristoteles
menyebutnya sebagai en dam onia atau the good life(kehidupan yang baik).<br />Menurut
Goodin dalam buku “A New Handbook of Political Science”, politik dapat
diartikan sebagai penggunaan kekuasaan social secara paksa. Jadi, ilmu
politik dapat diartikan sebagai sifat dan sumber paksaan itu serta cara
menggunakan kekuasaan social dengan paksaan tersebut.<br /><br />Beberapa definisi berbeda juga diberikan oleh para ahli , misalnya:<br />• Menurut Bluntschli, Garner dan Frank Goodnow menyatakan bahwa ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari lingkungan kenegaraan.<br />• Menurut Seely dan Stephen Leacock, ilmu politik merupakan ilmu yang serasi dalam menangani pemerintahan.<br />•
Dilain pihak pemikir Prancis seperti Paul Janet menyikapi ilmu politik
sebagai ilmu yang mengatur perkembangan Negara begitu juga prinsip-
prinsip pemerintahan, Pendapat ini didukung juga oleh R.N. Gilchrist.<br />Ilmu politik secara teoritis terbagi kepada dua yaitu :<br />•
Valuational artinya ilmu politik berdasarkan moral dan norma politik.
Teori valuational ini terdiri dari filsafat politik, ideologi dan
politik sistematis.<br />• Non valuational artinya ilmu politik hanya
sekedar mendeskripsikan dan mengkomparasikan satu peristiwa dengan
peristiwa lain tanpa mengaitkannya dengan moral atau norma.<br /><br />Perkembangan Ilmu Politik<br />Ilmu
politik adalah salah satu ilmu tertua dari berbagai cabang ilmu yang
ada. Sejak orang mulai hidup bersama, masalah tentang pengaturan dan
pengawasan dimulai. Sejak itu para pemikir politik mulai membahas
masalah-masalah yang menyangkut batasan penerapan kekuasaan, hubungan
antara yang memerintah serta yang diperintah, serta sistem apa yang
paling baik menjamin adanya pemenuhan kebutuhan tentang pengaturan dan
pengawasan.<br /><br />Ilmu politik diawali dengan baik pada masa Yunani
Kuno, membuat peningkatan pada masa Romawi, tidak terlalu berkembang di
Zaman Pertengahan, sedikit berkembang pada Zaman Renaissance dan
Penerangan, membuat beberapa perkembangan substansial pada abad 19, dan
kemudian berkembang sangat pesat pada abad 20 karena ilmu politik
mendapatkan karakteristik tersendiri.<br /><br />Ilmu politik sebagai
pemikiran mengenai Negara sudah dimulai pada tahun 450 S.M. seperti
dalam karya Herodotus, Plato, Aristoteles, dan lainnya. Di beberapa
pusat kebudayaan Asia seperti India dan Cina, telah terkumpul beberapa
karya tulis bermutu. Tulisan-tulisan dari India terkumpul dalam
kesusasteraan Dharmasatra dan Arthasastra, berasal kira-kira dari tahun
500 S.M. Di antara filsuf Cina terkenal, ada Konfusius, Mencius, dan
Shan Yang(±350 S.M.).<br />Di Indonesia sendiri ada beberapa karya tulis
tentang kenegaraan, misalnya Negarakertagama sekitar abad 13 dan Babad
Tanah Jawi. Kesusasteraan di Negara-negara Asia mulai mengalami
kemunduran karena terdesak oleh pemikiran Barat yang dibawa oleh
Negara-negara penjajah dari Barat.<br /><br />Di Negara-negara benua Eropa
sendiri bahasan mengenai politik pada abad ke-18 dan ke-19 banyak
dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena itu ilmu politik hanya berfokus pada
negara. Selain ilmu hukum, pengaruh ilmu sejarah dan filsafat pada ilmu
politik masih terasa sampai perang Dunia II.<br /><br />Di Amerika Serikat
terjadi perkembangan berbeda, karena ada keinginan untuk membebaskan
diri dari tekanan yuridis, dan lebih mendasarkan diri pada pengumpulan
data empiris. Perkembangan selanjutnya bersamaan dengan perkembangan
sosiologi dan psikologi, sehingga dua cabang ilmu tersebut sangat
mempengaruhi ilmu politik. Perkembangan selanjutnya berjalan dengan
cepat, dapat dilihat dengan didirikannya American Political Science
Association pada 1904.<br /><br />Perkembangan ilmu politik setelah Perang
Dunia II berkembang lebih pesat, misalnya di Amsterdam, Belanda
didirikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, walaupun penelitian
tentang negara di Belanda masih didominasi oleh Fakultas Hukum. Di
Indonesia sendiri didirikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
seperti di Universitas Riau. Perkembangan awal ilmu politik di Indonesia
sangat dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena pendidikan tinggi ilmu hukum
sangat maju pada saat itu.Sekarang, konsep-konsep ilmu politik yang
baru sudah mulai diterima oleh masyarakat.<br /><br />Di negara-negara Eropa
Timur, pendekatan tradisional dari segi sejarah, filsafat, dan hukum
masih berlaku hingga saat ini. Sesudah keruntuhan komunisme, ilmu
politik berkembang pesat, bisa dilihat dengan ditambahnya
pendekatan-pendekatan yang tengah berkembang di negara-negara barat pada
pendekatan tradisional.<br /><br />Perkembangan ilmu politik juga
disebabkan oleh dorongan kuat beberapa badan internasional, seperti
UNESCO. Karena adanya perbedaan dalam metodologi dan terminologi dalam
ilmu politik, maka UNESCO pada tahun1948 melakukan survei mengenai ilmu
politik di kira-kira 30 negara. Kemudian, proyek ini dibahas beberapa
ahli di Prancis, dan menghasilkan buku Contemporary Political Science
pada tahun 1948.<br />Selanjutnya UNESCO bersama International Political
Science Association (IPSA) yang mencakup kira-kira ssepuluh negara,
diantaranya negara Barat, di samping India, Meksiko, dan Polandia. Pada
tahun 1952 hasil penelitian ini dibahas di suatu konferensi di
Cambridge, Inggris dan hasilnya disusun oleh W. A. Robson dari London
School of Economics and Political Science dalam buku The University
Teaching of Political Science. Buku ini diterbitkan oleh UNESCO untuk
pengajaran beberapa ilmu sosial(termasuk ekonomi, antropologi budaya,
dan kriminologi) di perguruan tinggi. Kedua karya ini ditujukan untuk
membina perkembangan ilmu politik dan mempertemukan pandangan yang
berbeda-beda.<br /><br />Pada masa-masa berikutnya ilmu-ilmu sosial banyak
memanfaatkan penemuan-penemuan dari antropologi, sosiologi, psikologi,
dan ekonomi, dan dengan demikian ilmu politik dapat meningkatkan mutunya
dengan banyak mengambil model dari cabang ilmu sosial lainnya. Berkat
hal ini, wajah ilmu politik telah banyak berubah dan ilmu politik
menjadi ilmu yang penting dipelajari untuk mengerti tentang politik.
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03001901382708251635noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6121790378678955150.post-26047425884913192252013-02-15T19:27:00.002-08:002013-02-15T19:27:39.424-08:00<h1>
Ini 2 Cara Sederhana Menemukan G-spot Wanita</h1>
<div class="author">
<strong>Putro Agus Harnowo</strong> - detikHealth </div>
<div class="date">
Selasa, 12/02/2013 18:32 WIB</div>
<div class="fb_timeline" id="fb_login_button" style="display: block;">
</div>
<br /><div class="artikel">
<div class="banner_inside_article">
<div class="banner_reg cad_skyp">
<a href="http://openx.detik.com/delivery/ck.php?oaparams=2__bannerid=39210__zoneid=2090__cb=7c5ba01e10__maxdest=http://sport.detik.com/sepakbola/" target="_blank"></a><div id="beacon_7c5ba01e10" style="left: 0px; position: absolute; top: 0px; visibility: hidden;">
<img alt="" height="0" src="http://openx.detik.com/delivery/lg.php?bannerid=39210&campaignid=696&zoneid=2090&channel_ids=,&loc=http%3A%2F%2Fhealth.detik.com%2Fread%2F2013%2F02%2F12%2F183248%2F2168232%2F1390%2Fini-2-cara-sederhana-menemukan-g-spot-wanita&referer=http%3A%2F%2Fhealth.detik.com%2Fkanal%2F1389%2Fsexual-health%3Fltsexual&cb=7c5ba01e10" style="height: 0px; width: 0px;" width="0" /></div>
</div>
<div class="tab_info_obat">
<div id="bx" style="display: block;">
<div class="accordion_obat" id="accordion_obat">
<div class="key">
<div class="pallet" style="display: block;">
<br />
</div>
</div>
</div>
</div>
</div>
</div>
</div>
<div class="pic_artikel">
<img height="" src="http://images.detik.com/content/2013/02/12/1390/183516_couplebedts.jpg" width="" /><span>Foto: Ilustrasi/Thinkstock</span></div>
<div class="terkait">
<strong><br /></strong>
</div>
<strong>Jakarta,</strong> Keberadaan G-spot atau titik paling sensitif
pada organ intim wanita telah menjadi perdebatan sengit di kalangan para
ahli. Melalui serangkaian penelitian, akhirnya peneliti menemukan bahwa
titik erotis tersebut benar-benar ada. Hanya saja ukurannya kecil jadi
susah ditemukan.<br /><br />G-Spot terletak di dinding vagina dan
menghasilkan efek luar biasa saat dirangsang. Titik ini memiliki simpul
saraf paling banyak dibanding lokasi lain di sekitarnya. Ukurannya hanya
8,1 x 3,6 x 1,5 mm sehingga wajar jika susah dicari, namun bukan
berarti mustahil ditemukan.<br /><br />Seperti dilansir Female First, Selasa (12/2/2013), ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menemukan G-spot, yaitu:<br /><br /><strong>1. Eksplorasi tubuh</strong><br />G-spot
terletak pada dinding vagina bagian atas, di antara lubang vagina dan
leher rahim. Letaknya bisa berbeda-beda tiap wanita, jadi setiap wanita
perlu mengeksplorasi sendiri manakah titik di vaginanya yang memberikan
rangsangan paling hebat.<br /><br />Dinding vagina tempat G-Spot berada
berbeda dengan jaringan vagina lainnya yang lebih lunak. Jika diraba
rasanya lebih keriput atau berkerut dibandingkan jaringan lainnya. Jika
masih sulit menemukannya, coba cara berikutnya.<br /><br /><strong>2. Fantasi seksual</strong><br />Cobalah
bayangkan fantasi seksual. Ketika terangsang, G-spot akan membesar 2
kali lipat dari ukuran semula dan mengeras layaknya tekstur buah kenari.
Beberapa wanita berhasil menemukan titik ini dengan menggunakan sex
toys.<br /><br />Ketika titik ini ditemukan, akan muncul sensasi seolah
ingin buang air kecil, tetapi sebenarnya tidak. Jika diteruskan,
merangsang titik ini akan membuat wanita mengalami ejakulasi sehingga
bisa membedakan antara orgasme akibat rangsangan klitoris dan orgasme
akibat G-spot.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03001901382708251635noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6121790378678955150.post-25968232300004118842013-02-15T19:23:00.002-08:002013-02-15T19:23:48.205-08:00<h1>
Titik Erotis Wanita Jawa Berdasar Warna Kulit: Kemerah-merahan </h1>
<div class="author">
<strong>Irna Gustia</strong> - detikHealth </div>
<div class="date">
Selasa, 09/10/2012 12:39 WIB</div>
<div class="fb_timeline" id="fb_login_button" style="display: block;">
<span style="height: 22px; width: 161px;"></span>
</div>
<div class="artikel">
<div class="banner_inside_article">
<div class="banner_reg cad_skyp">
<a href="http://openx.detik.com/delivery/ck.php?oaparams=2__bannerid=39210__zoneid=2090__cb=3cab92dc2a__maxdest=http://sport.detik.com/sepakbola/" target="_blank"></a><div id="beacon_3cab92dc2a" style="left: 0px; position: absolute; top: 0px; visibility: hidden;">
<img alt="" height="0" src="http://openx.detik.com/delivery/lg.php?bannerid=39210&campaignid=696&zoneid=2090&channel_ids=,&loc=http%3A%2F%2Fhealth.detik.com%2Fread%2F2012%2F10%2F09%2F123950%2F2058172%2F1393%2Ftitik-erotis-wanita-jawa-berdasar-warna-kulit-kemerah-merahan&referer=http%3A%2F%2Fhealth.detik.com%2Fkanal%2F1389%2Fsexual-health%3Fltsexual&cb=3cab92dc2a" style="height: 0px; width: 0px;" width="0" /></div>
</div>
<div class="tab_info_obat">
<div class="tab_info_obat_menu" id="tab_info_obat">
<a href="http://health.detik.com/read/2012/10/09/123950/2058172/1393/titik-erotis-wanita-jawa-berdasar-warna-kulit-kemerah-merahan#ax"></a>
</div>
<div id="bx" style="display: block;">
<div class="accordion_obat" id="accordion_obat">
<div class="key">
<div class="pallet" style="display: block;">
<br />
</div>
</div>
<div class="key">
</div>
<div class="key">
</div>
</div>
</div>
</div>
</div>
</div>
<div class="terkait">
<img height="" src="http://images.detik.com/content/2012/10/09/1393/124152_perempuanmerahok.jpg" width="" /><span>(Foto: thinkst</span><strong></strong> </div>
<div class="terkait">
</div>
<strong>Jakarta,</strong> Seorang lelaki yang kebetulan mempunyai
pasangan berkulit kemerah-merahan dan berhasrat untuk membangkitkan
gelora seksual pasangannya, perlu memperhatikan dua bagian tempat
titik-titik erotis dan magis pasangannya tersebut. Kedua bagian teramat
penting itu adalah pada kedua mata dan payudara.<br /><br />Mengingat
titik-titik erotis dan magis itu berada di dua tempat, perlulah sang
lelaki bekerja ekstra, yakni mengecup pada kedua mata pasangannya dan
meraba perlahan-lahan pada payudaranya. <br /><br />Perlu diperhatikan,
perabaan pada payudara itu harus dilakukan secara perlahan-lahan dan
jangan meremasnya terlalu kuat atau menekannya dengan keras. Bisa-bisa
sang wanita tidak memuncak berahinya, namun akan menjerit kesakitan!<br /><br />Pasangan
Anda kebetulan wanita berkulit kemerah-merahan? Lakukan 'serangan'
ketika waktu fajar tiba, karena waktu itulah berahi pasangan Anda tengah
berada pada puncaknya! (Kamasutra Jawa, Hariwijaya: 2004)Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03001901382708251635noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6121790378678955150.post-76702739718811466892013-02-15T19:00:00.002-08:002013-02-15T19:00:24.762-08:00Pengertian Sistem, Politik, dan Sistem Politik Indonesia<h3 class="post-title entry-title" itemprop="name">
Pengertian Sistem, Politik, dan Sistem Politik Indonesia
</h3>
<div class="post-header">
<div class="vcard" id="hcard- Wayan Katel">
<span class="fn n">
<span class="given-name"></span></span><a class="updated" href="http://www.wayankatel.com/2012/08/pengertian-sistempolitik-politik-sistem-indonesia.html" rel="bookmark" title="permanent link"><abbr class="updated" title="2012-08-31T22:36:00+08:00"></abbr></a>
</div>
<div class="fb-like fb_edge_widget_with_comment fb_iframe_widget" data-font="verdana" data-href="https://www.facebook.com/wayankatelcom" data-send="true" data-show-faces="false" data-width="450">
<span style="height: 24px; width: 450px;"></span></div>
</div>
<a href="http://www.wayankatel.com/2012/08/pengertian-sistempolitik-politik-sistem-indonesia.html" target="_blank"><b><span style="color: black;">Pengertian Sistem,Politik, dan Sistem Politik Indonesia</span></b></a>,<br />
Reformasi
membawa perubahan dalam sistem dan kehidupan politik di
Indonesia.Penampilan dari sistem politik dipengaruhi oleh
pluralitas,orientasi politik,kepemimpinan,demokrasi,dan pembangunan
politik. Sehingga untuk mendapatkan sebuah sistem politik yang sesuai
dengan tujuan bangsa Indonesia harus memperhatikan faktor-faktor
tersebut.<br />
<br />
<b>1. Pengertian Sistem</b><br />
<br />
<ul>
<li>Secara umum,sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang
didalamnya melibatkan elemen-elemen atau bagian-bagian yang saling
berkaitan.Dengan demikian,dapat diketahui bahwa sistem ialah suatu yang
berhubungan satu sama lain sehingga membentuk suatu kesatuan.</li>
<li>Sistem adalah suatu cara yang mekanismenya berpola dan konsisten,bahkan mekanismenya sering bersifat otomatis.</li>
</ul>
<br />
<b>2. Pengertian Politik</b><br />
Pada umumnya,<i>politik</i> diartikan sebagai bermacam-macam
kegiatan dalam suatu negara (sistem politik) yang menyangkut proses
penentuan tujuan-tujua dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan
itu. Politik menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat,dan bukan
tujuan pribadi seseorang.Lagi pula,politik menyangkut kegiatan berbagai
kelompok termasuk partai politik dan orang-perseorangan.<br />
<br />
<b>3. Pengertian Sistem Politik</b><br />
<a href="http://www.wayankatel.com/2012/08/pengertian-sistempolitik-politik-sistem-indonesia.html" target="_blank">Sistem politik</a>
adalah semua tindakan yang kurang lebih berkaitan dengan pembuatan
keputusan-keputusan yang mengikan masyarakat.Pada hakikatnya,sistem
politik melaksanakan fungsi-fungsi mempertahankan kesatuan
masyarakat,menyesuaikan,dan merubah unsur pertautan hubungan antara
agama dan sistem ekonomi,serta melindungi kesatuan sistem politik dari
ancaman luar atau mengembangkan kemasyarakat lain.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03001901382708251635noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6121790378678955150.post-59868967959569365652013-02-15T18:51:00.001-08:002013-02-15T18:51:11.913-08:00Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia<h2 class="post-title">
Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia </h2>
<div class="pd-rating" id="pd_rating_holder_852826_post_20" style="display: inline-block;">
<div class="rating-icons" id="pd_rate_852826_post_20" style="float: left;">
<div class="rating-star-icon" id="PDRTJS_852826_post_20_stars_1" style="background-size: 32px 48px!important; background: url(http://i0.poll.fm/ratings/images/star-yellow-sml.png) top left; cursor: pointer; float: left; height: 16px; line-height: 16px; margin-right: 1px; marging: 0px; padding: 0px; width: 16px;">
</div>
</div>
</div>
Oleh Hamdan Zoelva, S.H., M.H.<strong> </strong><br />
<strong>I. Pendahuluan</strong><br />
<em>Law is a command of the Lawgiver</em> (hukum adalah perintah dari
penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan
tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Demikian John Austin, seperti
dikutip oleh Prof Lili Rasyidi.<a href="http://hamdanzoelva.wordpress.com/wp-admin/post-new.php#_ftn1" name="_ftnref1" title="_ftnref1">[1]</a>
Perdebatan mengenai hububngan hukum dan politik memiliki akar sejarah
panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme
hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik
atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan
aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika
hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan
sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu
tergantung pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok
menciptakan hukum yang hidup.<span id="more-20"></span><br />
Memperhatikan perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat
adanya ciri-ciri yang spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum
pengaruh hukum dari penjajahan Belanda di Indonesia berlaku hukum adat
dan hukum Islam yang berbeda-beda dari berbagai masyarakat adat di
Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang berbeda. Setelah masuk
penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian besarnya
merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum
tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivis. Walaupun
demikian Belanda menganut politik hukum adat <em>(adatrechtpolitiek),</em>
yaitu membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat
Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang
bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada
masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum. Perkembangan hukum di
Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh hukum kolonial dan meninggalkan
hukum adat. (baca Daniel S. Lev, 1990 : 438-473).<br />
Karena itu, dalam melihat persoalan hukum di Indonesia harus
dipandang dari kenyataan sejarah dan perkembangan hukum Indonesia itu.
Pada saat sekarang ini terdapat perbedaan cara pandang terhadap hukum
diantara kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas
penegakkan hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari
cara pandang yang tidak sama tentang apa yang dimaksud hukum dan apa
yang menjadi sumber hukum. Tulisan ini akan mengkaji permasalahan ini
dari sudut pandang teori positivis yang berkembang dalam ilmu hukum
dengan harapan akan mendapatkan gambaran tentang akar persoalan
pembangunan sistem hukum Indonesia pada masa mendatang.<br />
<strong>II. Pandangan Aliran Positivis Tentang Hukum</strong><br />
<br />
Aliran positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang
dikembangkan oleh filosof Perancis; August Comte (1798-1857) yang
berpendapat bahwa terdapat kepastian adanya hukum-hukum perkembangan
mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara
mutlak. August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat oleh negara.
(Achmad Ali, 2002, : 265). Untuk memahami positivisme hukum tidak dapat
diabaikan metodelogi positivis dalam sains yang mengahruskan
dilakukannya validasi dengan metode yang terbuka atas setiap kalin atau
proposisi yang diajukan. Karena itu bukti empirik adalah syarat
universal untuk diterimanya kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas
tradisi atau suatu kitab suci. Menurut Fletcher (Fletcher 1996 : 33)
Positivisme hukum mempunyai pandangan yang sama tentang diterimanya
validasi. Seperti halnya positivisme sains yang tidak dapat menerima
pemikiran dari suatu proposisi yang tidak dapat diverifikasi atau yang
tidak dapat difalsifikasi., tetapi karena hukum itu ada karena termuat
dalam perundang-undangan apakah dipercaya atau tidak. Hukum harus
dicantumkan dalam undang-undang oleh lembaga legislatif dengan
memberlakukan, memperbaiki dan merubahnya.<br />
Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat
dalam ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan
hukum itu dapat diverifikasi. Adapan yang di luar undang-undang tidak
dapat dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di luar hukum.
Hukum harus dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis
mengakui bahwa focus mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan
disiplin moral, teologi, sosiolgi dan politik yang mempengaruhi
perkembangan sistem hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem hukum
apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan
memberlakukannya sebagai hukum.<br />
Lebih jauh, pandangan dan pendapat dari mazhab positivisme ini dapat
ditelusuri dari pendapat dan pandangan dari para penganut terpenting
dari mazhab ini antara lain John Austin, seorang ahli hukum yang
berkebangsaan Inggeris yang mewakili pandangan positivis dari kelompok
penganut sistem hukum <em>Common Law</em> dan Hans Kelsen, seorang ahli
hukum yang berkebangsaan Jerman yang mewakili pandangan positivis dari
kelompok penganut sistem hukum Eropa Kontinental.<br />
Menurut John Austin (seperti dikutip Achmad Ali, Ibid, hlm. 267),
hukum adalah perintah kaum yang berdaulat. Ilmu hukum berkaitan dengan
hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas
disebut demikian. Pendapat Austin sangat dipengaruhi oleh pandangannya
mengenai kedaulatan negara yang memiliki dua sisi yaitu sisi eksternal
dalam bentuk hukum internasional dan sisi internal dalam bentuk hukum
positif. Kedaulatan negara menuntut ketaatan dari penduduk warga negara.
Lebih lanjut menurut Austin, ketaatan ini berbeda dengan ketaatan
seseorang karena ancaman senjata. Ketaatan warga negara terhadap
kedaulatan negara didasarkan pada legitimasi. Menurut pandangan Austin
(Lili Rasyidi, 2001, : 58), hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap
dan bersifat tertutup <em>(closed logical system)</em>. Hukum
dipisahkan secara tegas dari keadilan dan tidak didasarkan pada
nilai-nilai yang baik atau buruk. Ada empat unsur hukum yaitu adanya <em>perintah,</em> <em>sanksi, kewajiban</em> dan <em>kedaulatan</em>. Ketentuan yang tidak memenuhi ke empat unsur ini tidak dapat dikatan sebagai <em>positive law.</em><br />
Selanjutnya Lili Rasyidi (Ibid, : 59-60) menyimpulkan pokok-pokok ajaran <em>Analytical Jurisprudence</em> dari Austin, yaitu :<br />
<ol>
<li>
<div>
Ajarannya tidak berkaitan dengan soal atau penilain baik dan buruk, sebab peniliain terbeut berada di luar hukum;</div>
</li>
<li>
<div>
Walau diakui adanya hukum moral yang berpengaruh terhadap masyarakat, namun secara yuridis tidak penting bagi hukum.</div>
</li>
<li>
<div>
Pandangannya bertolak belakang dengan baik penganut hukum alam maupun mazhab sejarah;</div>
</li>
<li>
<div>
Hakekat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah dari yang berdaulat/penguasa.</div>
</li>
<li>
<div>
Kedaulatan adalah hal di luar hukum, yaitu berada pada dunia
politik atau sosiologi karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap
sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataan;</div>
</li>
<li>
<div>
Ajaran Austin kurang/tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.</div>
</li>
</ol>
Dari kalangan penganut sistem hukum Eropa Kontinental, Hans Kelsen
yang dikenal dengan jaran hukum murninya selalu digolongkan sebagai
penganut aliran positivisme ini. Ada dua teori yang dikemukakan oleh
Hans Kelsen yang perlu diketengahkan ( Ibid. : 60). Pertama, ajarannya
tentang hukum yang bersifat murni dan kedua, berasal dari muridnya Adolf
Merkl yaitu <em>stufenbau des recht</em> yang mengutamakan tentang
adanya hierarkis daripada perundang-undangan. Inti ajaran hukum murni
Hans Kelsen (Ibid. : 61) adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan dari
anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan
sebagainya. Dengan demikian Kelsen tidak memberikan tempat bagi
betrlakunya hukum alam. Hukum merupakan <em>sollen </em>yuridis semata-mata yang terlepas dari <em>das sein</em> / kenyataan sosial.<br />
Sedangkan ajaran <em>stufentheorie </em>berpendapat bahwa suatu
sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan
hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi.
Sebagai ketentuan yang paling tanggi adalah <em>Grundnorm</em> atau
norma dasar yang bersifat hipotetis. Ketentuan yang lebih rendah adalah
lebih konkrit daripada ketentuan yang lebih tinggi. Ajaran murni tentang
hukum adalah suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak
mempersoalkan hukum yang senyatanya itu, yaitu apakah hukum yang
senyatanya itu adil atau tidak adil.<br />
Selanjutnya Prof. H.L.A. Hart (seperti dikutip oleh Lili Rasyidi,
Ibid. : 57), menguraikan tentang ciri-ciri positivisme pada ilmu hukum
dewasa ini sebagai berikut:<br />
<ul>
<li>
<div>
- Pengertian bahwa hukum adalah perintah dari manusia <em>(command of human being);</em></div>
</li>
<li>
<div>
- Pengertian bahwa tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum <em>(law)</em> dan moral atau hukum sebagaimana yang berlaku/ada dan hukum yang sebenarnya;</div>
</li>
<li>
<div>
- Pengertian bahwa analisis konsepsi hukum adalah :</div>
</li>
<li>
<div>
1. mempunyai arti penting,</div>
</li>
<li>
<div>
2. harus dibedakan dari penyelidikan :</div>
</li>
</ul>
a. historis mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum,<br />
b. sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya, dan<br />
c. penyelidikan hukum secara kritis atau penilain, baik yang berdasarkan moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan lain-lainnya.<br />
- Pengertian bahwa sitem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan
bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat
biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari
peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa
memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral;<br />
- Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat
dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus
dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau
percobaan.<br />
Dengan demikian kita dapat pula mengatakan, karena negara adalah
ekspresi atau merupakan forum kekuatan-kekuatan politik yang ada didalam
masyarakat, maka hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang
diambil dengan cara yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa
mempunyai tugas untuk mengatur dengan cara-cara umum untuk mengatasi
problema-problema kemasyarakatan yang serba luas dan rumit, pengaturan
ini merupakan obyek proses pengambilan keputusan politik, yang
dituangkan kedalam aturan-aturan, yang secara formal diundangkan. Jadi
dengan demikian hukum adalah hasil resmi pembentukan keputusan politik
(Ibid, : 93).<br />
<br />
<strong>III. Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia</strong><br />
A. Peranan Struktur dan Infrastruktur Politik<br />
Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum
adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum
sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum
dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan,
evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya (Daniel S.
Lev, 1990 : xii).<br />
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak
diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya
seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang
sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di
tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk
hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara
mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan
politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur
sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.<br />
Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum
itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan
manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga <em>(institutions)</em> dan proses <em>(process)</em> yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan (Lihat Mieke Komar at. al, 2002 : 91).<br />
Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi
masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk
terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata
kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam
hukum yakni mencakup kata <em>“process”</em> dan kata <em>“institutions,”</em>
dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk
politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan
perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dpengarhi oleh
kekuata-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik.
Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa
kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi
kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun
akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan (M.Kusnadi, SH., 2000
: 118). Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi
politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu
adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan
otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum
tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu
institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan
politik. Kekuatan- kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni
sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi
politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan lembaga
negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-lembaga
negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik
adalah seperti: partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan
lain-lain. Dengan demikian dapatlah disimpilkan bahwa pembentukan produk
hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses
politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas untuk itu.<br />
Seperti telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa teori-teori
hukum yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi
kehidupan hukum di Indonesia adalah teori hukum positivisme. Pengaruh
teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam
berbagai jenis hukum yang berlaku di Indonesia bahkan telah merambat ke
sistem hukum internasional dan tradisional (Lili Rasjidi, SH., 2003 :
181). Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat,
pengaruh aliran poisitvis adalah sangat dominan. Apa yang disebut hukum
selalu dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, di luar itu,
dianggap bukan hukum dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum.
Nilai-nilai dan norma di luar undang-undang hanya dapat diakui apabila
dimungkinkan oleh undang-undang dan hanya untuk mengisi kekosongan
peraturan perundang-undang yang tidak atau belum mengatur masalah
tersebut.<br />
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi
ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan <em>checks and balances</em>,
seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah
perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai
penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan
wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas
kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan
fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem
yang demikian disebut sistem <em>“checks and balances”,</em> yaitu
pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar,
tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di
atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.<br />
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap
warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk
politik dari instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan
terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut
dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan
keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum
dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada
Mahkamah Agung.<br />
<br />
B. Pengaruh Kelompok Kepentingan dalam Pembentukan Hukum<br />
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi
politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi
dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi
politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin
dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai
negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh
ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh
agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10
tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab.
X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam
Pasal 53 : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau
tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang
dan Rancangan Peraturan Daerah.”<br />
Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengarh masyarakat dalam
mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang
begitu luas. Apalagi sejak tuntutan masyarakat dalam mendesakkan
reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan, dengan ditandai jatuhnya
orde baru di bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era
reformasi telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai dengan
lahirnya sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu
besar dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita kepada apa yang
diutarakan oleh pakar filsafat publik Walter Lippmann, bahwa opini massa
telah memperlihatkan diri sebagai seorang master pembuat keputusan yang
berbahaya ketika apa yang dipertaruhkan adalah soal hidup mati (Walter
Lippmann, 1999 : 21).<br />
Kenyataan yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan
masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan
hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban
masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu Karena rasa ketidakadilan dan
terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir
seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika tidak
mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan
yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.<br />
Satu catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian para<em> lawmaker </em>adalah
apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu :”Kalu opini umum
sampai mendomonasi pemerintah, maka disanalah terdapat suatu
penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan,
yang hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah
(Ibid, : 15). Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum
adalah penting memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang
mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak
punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik. Disnilah peranan para
wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam
struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan
mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah,
kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum
positif.<br />
<br />
C. Sistem Politik Indonesia<br />
Untuk memahami lebih jauh tentang mekanisme pembentukan hukum di
Indonesia, perlu dipahami sistem politik yang dianut. Sistem politik
mencerminkan bagaimana kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga-lembaga
negara dan bagaimana meknaisme pengisian jabatan dalam lembaga-lembaga
negara itu dilakukan. Inilah dua hal penting dalam mengenai sistem
politik yang terkait dengan pembentukan hukum.<br />
Beberapa prinsip penting dalam sistem politik Indonesia yang terkait
dengan uraian ini adalah sistem yang berdasarkan prinsip negara hukum,
prinsip konstitusional serta prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini
saling terkait dan saling mendukung, kehilangan salah satu prinsip saja
akan mengakibatkan pincangnya sistem politik ideal yang dianut. Prinsip
negara hukum mengandung tiga unsur utama, yaitu pemisahan kekuasaan -<em> check and balances </em>- prinsip<em> due process of law,</em>
jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan jaminan serta perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip konstitusional mengharuskan
setiap lembaga-lembaga negara pelaksana kekuasaan negara bergerak hanya
dalam koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan amanat yang
diberikan konstitusi.<br />
Dengan prinsip demokrasi partisipasi publik/rakyat berjalan dengan
baik dalam segala bidang, baik pada proses pengisian jabatan-jabatan
dalam struktur politik, maupun dalam proses penentuan
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh berbagai struktur politik itu.
Karena itu demokrasi juga membutuhkan transparansi (keterbukaan
informasi), jaminan kebebasan dan hak-hak sipil, saling menghormati dan
menghargai serta ketaatan atas aturan dan mekanisme yang disepakati
bersama.<br />
Dengan sistem politik yang demikianlah berbagai produk politik yang
berupa kebijakan politik dan peraturan perundang-undangan dilahirkan.
Dalam kerangka paradigmatik yang demikianlah produk politik sebagai
sumber hukum sekaligus sebagai sumber kekuatan mengikatnya hukum
diharapkan – sebagaimana yang dianut aliran positivis – mengakomodir
segala kepentingan dari berbagai lapirsan masyarakat, nilai-nilai moral
dan etik yang diterima umum oleh masyarakat. Sehingga apa yang dimaksud
dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan yang telah
disahkan oleh institusi negara yang memiliki otoritas untuk itu.
Nilai-nilai moral dan etik dianggap telah termuat dalam
perundang-undangan itu karena telah melalui proses partisipasi rakyat
dan pemahaman atas suara rakyat. Dalam hal produk itu dianggap melanggar
norma-norma dan nilai-nilai yang mendasar yang dihirmati oleh
masyarakat dan merugikan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka
rakyat dapat menggugat negara (institusi) tersebut untuk mebatalkan
peraturan yang telah dikeluarkannya dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan
demikian nilai moral dan etik, kepentingan-kentingan rakyat yang ada
dalam kenyataan-kenyataan sosial tetap menjadi hukum yang dicita-citakan
yang akan selalui mengontrol dan melahirkan hukum positif yang baru
melalui proses perubahan, koreksi dan pembentukan perundangan-undangan
yang baru.<br />
<strong>IV. Kesimpulan</strong><br />
<ol>
<li>
<div style="text-align: justify;">
Memahami hukum Indonesia harus dilihat
dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang
pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini
sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari uraian pada bagian
terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa apa yang dipahami sebagai hukum
dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran
positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum itu terbatas pada
apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau yang
dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya
dalam perkembagan sistem hukum Indonesia ke depan. Adapun nilai-nilai
moral dan etika serta kepentingan rakyat dalam kenyataan-kenyataan
sosial di masyarakat hanya sebagai pendorong untuk terbentuknya hukum
yang baru melalui perubahan, koreksi serta pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baru.</div>
</li>
<li>
<div style="text-align: justify;">
Kenyataan ini menunjukkan bahwa hukum
adat dengan bentuknya yang pada umumnya tidak tertulis, yang sifatnya
religio magis, komun, kontan dan konkrit (visual), sebagai hukum asli
Indonesia semakin tergeser digantikan oleh paham positivis. Menurut
Penulis, berbagai masalah kekecewaan pada penegakan hukum serta
kekecewaan pada aturan hukum sebagian besarnya diakibatkan oleh situasi
bergesernya pemahaman terhadap hukum tersebut serta proses pembentukan
hukum dan putusan-putusan hukum yang tidak demokratis.</div>
</li>
</ol>
<br />
<strong>DAFTAR PUSTAKA</strong><br />
<br />
<ul>
<li>
<div>
1. Achmad Ali, <em>Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,</em> Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002.</div>
</li>
<li>
<div>
2. Daniel S. Lev, <em>Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan</em>, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.</div>
</li>
<li>
<div>
3. Lili Rasyidi & Ira Rasyidi, <em>Pengantar Filsafat dan Teori Hukum</em>, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti, Bandung 2001.</div>
</li>
<li>
<div>
4. —————————–, <em>Pengantar Filsafat Hukum,</em> Cet. III, CV Mandar Maju, Bandung, 2002.</div>
</li>
<li>
<div>
5. Bushar Muhammad, <em>Asas_Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar,</em> Cet. ke 4, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.</div>
</li>
<li>
<div>
6. Fletcher, George P, <em>Basic Concepts of Legal Thougt,</em> Oxford University Press, New York, 1996.</div>
</li>
<li>
<div>
7. Mieke Komar, at al., <em>Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan
Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar
Kusumaatmadja, SH, LLM, </em>Alumni, Bandung, 1999.</div>
</li>
<li>
<div>
8. Otje Salman<em>, Teori Hukum, Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali</em>, PT Refika Aditama, Bandung, 2004.</div>
</li>
<li>
<div>
9. Miriam Budiardjo, <em>Dasar-Dasar Ilmu Politik,</em> Cet. ke 27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.</div>
</li>
<li>
<div>
10. Jimly Asshiddiqie, <em>Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,</em> Cet. I, Konstitusi Press, 2005.</div>
</li>
<li>
<div>
11. Lippman, Walter<em>. Filsafat Publik,</em> Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul <em>” The Publik Philosophy, </em>oleh A. Rahman Zainuddin, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1999.</div>
</li>
</ul>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/03001901382708251635noreply@blogger.com0