Sunday, February 17, 2013

Sistem Ekonomi Dunia

Pengertian Sistem ekonomi

Istilah “sistem” berasal dari perkataan “systema” (bahasa Yunani), yang dapat diartikan sebagai: keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian. Pada  dasarnya  sebuah  sistem  adalah  suatu  organisasi  besar  yang  menjalin berbagai  subjek  (atau  objek)  serta  perangkat  kelembagaan  dalam  suatu tatanan tertentu (Dumairy, 1996: 28). 
Suatu  sistem  muncul  karena  adanya  usaha  manusia  untuk  memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.  Pemenuhan  kebutuhan  manusia  yang  sangat bervariasi akan memunculkan sistem yang berbeda-beda. Kebutuhan manusia yang bersifat dasar (pangan, pakaian, papan) akan memunculkan suatu sistem ekonomi. 
Berikut  adalah  pengertian  Sistem  Ekonomi  menurut  para  ahli  antara
lain : 
 Menurut Dumairy  (1996: 30), Sistem ekonomi adalah  suatu sistem yang mengatur  serta  menjalin  hubungan  ekonomi  antar  manusia  dengan seperangkat  kelembagaan  dalam  suatu  tatanan  kehidupan.  Selanjutnya dikatakannya  pula  bahwa  suatu  sistem  ekonomi  tidaklah  harus  berdiri sendiri,  tetapi  berkaitan  dengan  falsafah,  padangan  dan  pola  hidup masyarakat  tempatnya  berpijak.  Sistem  ekonomi  sesungguhnya merupakan  salah  satu  unsur  saja  dalam  suatu  supra  sistem  kehidupan masyarakat.  Sistem  ekonomi  merupakan  bagian  dari  kesatuan  ideologi kehidupan masyarakat di suatu negara. 
 Tom Gunadi  (1985: 26). Sistem perekonomian adalah sistem sosial atau kemasyarakatan dilihat dalam  rangka usaha keseluruhan  sosial  itu untuk mencapai kemakmuran.
Suroso  (1997:  7-8). Dilihat  dari  tujuannya,  sistem  ekonomi merupakanusaha  untuk  mengatur  pertukaran  barang  dan  jasa  yang  bertujuan meningkatkan  kesejahteraan  rakyat. Karena meningkatkan  kesejahteraan rakyat itu merupakan salah satu tujuan dari politik nasional, maka dengan demikian  sistem  perekonomian  pada  dasrnya  merupakan  bagian  dari sistem politik nasional. 
Gregory Grossman dan  M. Manu mengatakan bahwa  :“Sistem ekonomi adalah  sekumpulan  komponen-komponen  atau  unsur-unsur  yang  terdiri dari  atas  unit-unit  dan  agen-agen  ekonomi,  serta  lembaga-lembaga ekonomi yang bukan saja saling berhubungan dan berinteraksi melainkan juga sampai  tingkat  tertentu yang  saling menopang dan mempengaruhi.
Menurut  Bapak  Ekonomi  yaitu  Adam  Smith  (1723  -  1790):  sistem ekonomi  merupakan  bahan  kajian  yang  mempelajari  upaya  manusia memenuhi  kebutuhan  hidup  di  masyarakat  dalam  meningkatkan kesejahteraan.
Berdasarkan  berbagai  macam  pemaparan  mengenai  sistem  ekonomi dari berbagai sumber maka dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi adalah suatu  sistem  yang  mengatur  kondisi  perekonomian  suatu  negara  sesuai dengan  kondisi  kenegaraan  dari  negara  itu  sendiri.  Setiap  negara memiliki sistem  perekonomian  yang  berbeda-beda. Hal  itu  disebabkan  setiap  negara memiliki  ideologi, kondisi masyarakat, kondisi perekonomian,  serta kondisi SDA  yang  berbeda-beda.  Sistem  ekonomi  dapat  diartikan  sebagai  kegiatan produksi, konsumsi dan distribusi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Perbedaan  mendasar  antara  sebuah  sistem  ekonomi  dengan  sistem ekonomi  lainnya  adalah  bagaimana  cara  sistem  itu  mengatur  faktor produksinya. Dalam beberapa sistem, seorang individu boleh memiliki semuafaktor  produksi.  Sementara  dalam  sistem  lainnya,  semua  faktor  tersebut  di pegang  oleh  pemerintah.  Kebanyakan  sistem  ekonomi  di  dunia  berada  di antara  dua  sistem  ekstrim  tersebut.  Selain  faktor  produksi,  sistem  ekonomi juga  dapat  dibedakan  dari  cara  sistem  tersebut  mengatur  produksi  dan alokasi.
   

Jenis-Jenis Sistem Ekonomi

Di dunia  ini  terdapat berbagai macam sistem ekonomi yang diterapkan oleh Negara. Sitem ekonomi  tersebut antara  lain sistem ekonomi tradisional, sistem ekonomi  liberal/pasar/bebas, sistem ekonomi komando/terpusat/etatis, dan sistem ekonomi campuran. 
 1. Sistem Ekonomi Tradisional
Sistem  ekonomi  tradisional  merupakan  sistem  ekonomi  yang diterapkan  oleh  masyarakat  tradisional  secara  turun  temurun  dengan hanya mengandalkan  alam  dan  tenaga  kerja. Dalam  sistem  ekonomi  ini
pengaturan  ekonomi  dimapankan  menurut  pola  tradisi,  yang  biasanya sebagian besar menyangkut kontrol atas  tanah sebagai sumber  terpenting atau satu-satunya sumber ekonomi (Cornelis Rintuh, 1995: 40).  
Ciri-ciri sistem ekonomi tradisional
Sistem Ekonomi tradisional memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 
  • Teknik  produksi  dipelajari  secara  turun  temurun    dan  bersifat sederhana. 
  • Hanya sedikit menggunakan modal. 
  • Pertukaran  dilakukan  dengan  sistem  barter  (barang  dengan barang). 
  • Belum mengenal pembagian kerja. 
  • Masih terikat tradisi. 
  • Tanah  sebagai  tumpuan  kegiatan  produksi  dan  sumber kemakmuran. 

Kebaikan sistem ekonomi tradisional
Sistem ekonomi tradisional memiliki kelebihan sebagai berikut:
  • Tidak  terdapat  persaingan  yang  tidak  sehat,  hubungan  antar individu sangat erat.
  • Masyarakat  merasa  sangat  aman,  karena  tidak  ada  beban  berat yang harus dipikul.
  • Tidak individualistis.
Kelemahan sistem ekonomi tradisional 
Selain memiliki  berbagai  kelebihan  sistem  ekonomi  tradisional  juga memiliki kelemahan, yaitu:
  • Teknologi  yang  digunakan masih  sangat  sederhana,  sehingga produktivitas rendah.
  • Mutu barang hasil produksi masih rendah.
Saat  ini  sudah  tidak  ada  lagi  negara  yang  menganut  sistem ekonomi  tradisional, namun di beberapa daerah pelosok, seperti suku Badui  dalam  dan  suku  Bugis masih menggunakan  sistem  ini  dalam kehidupan sehari-hari.

2.  Sistem Ekonomi Pasar (Liberal/Bebas/Kapitalis) 
Sistem ekonomi pasar adalah suatu sistem ekonomi di mana seluruh kegiatan  ekonomi  mulai  dari  produksi,  distribusi  dan  konsumsi diserahkan  sepenuhnya  kepada  mekanisme  pasar.  Sistem  ini  sesuai dengan  ajaran  dari  Adam  Smith,  dalam  bukunya  An  Inquiry  Into  the Nature and Causes of  the Wealth of Nations. Model sistem ekonomi  ini merujuk  pada  perekonomian  pasar  persaingan  sempurna. Model  ini seluruhnya khayal (Gregory Grossman, 2004: 66). Sistem ekonomi pasar yang dicetuskan oleh Adam Smith berintikan: 
a. Tangan  yang  tidak  terlihat akan menggerakkan kegiatan  ekonomi yaitu dengan adanya keinginan  seseorang/sekelompok orang  yang memberikan  sebuah  barangdan  atau  jasa  untuk  mendapatkan barang lainnya (pertukaran).
b. Harga dalam pasar dapat goyah terutama karena hukum penawaran dan  permintaan,  serta  keinginan  pengusaha  menggunakan modalnya  sebaik  mungkin.  Oleh  karena  itu  harga  pasar  dalam jangka pendek dapat sangat tinggi atau sangat rendah, tetapi dalam jangka panjang akan mencapai keseimbangan.
Dalam  sistem  bebas  seperti  itu  pemerintah  suatu  Negara mempunyai tiga tugas yang sangat penting yaitu: 
  •  Berkewajiban  melindungi  Negara  dari  kekerasan  dan serangan negara bebas lainnya. 
  • Melindungi  setiap  anggota masyarakat  sejauh mungkin  dari ketidakadilan  atau  penindasan  oleh  anggota  masyarakat lainnya  atau  mendirikan  badan  hukum  yang  dapat diandalkan.
  • Mendirikan  dan  memelihara  beberapa  institusi  atau  sarana untuk umum yang  tidak dapat dibuat oleh perorangan karena keuntungan yang didapat darinya  terlalu kecil sehingga  tidak dapat  menutupi  biayanya.  Dengan  kata  lain  di  luar  itu, kegiatan  ekonomi  sepenuhnya  diserahkan  kepada  swasta. (Suroso, 1997: 14-15). 
Pada  dasarnya  sistem  ekonomi  yang  kapitalis murni  hampir  tidak ada.  Yang  berkembang  sekarang  ini  sistem  ekonomi  yang  sudah campuran.  Hanya  kadar  dominasinya  yang  menentukan kecenderungannya  kepada  suatu  jenis  sistem  ekonomi.  Negara  yang menggunakan  sistem  ekonomi  ini  adalah  Amerika  Serikat,  Swedia, Belanda dan Prancis.  
Ciri dari sistem ekonomi pasar/liberal/bebas/kapitalis.
Sistem ekonomi pasar/liberal/bebas memiliki ciri-ciri sebagai berikut:  
  •  Setiap orang bebas memiliki barang, termasuk barang modal.
  •  Setiap  orang  bebas  menggunakan    barang  dan  jasa  yang dimilikinya.
  •  Aktivitas ekonomi ditujukan untuk memperoleh laba. 
  •  Semua aktivitas ekonomi dilaksanakan oleh masyarakat (swasta).
  •  Pemerintah tidak melakukan intervensi dalam pasar.
  • Persaingan dilakukan secara bebas.
  •  Peranan modal sangat vital. 
 Kebaikan sistem ekonomi pasar/liberal/bebas/kapitalis.
Sistem  ekonomi  pasar/liberal/bebas/kapitalis  memiliki  berbagai kebaikan antara lain:
  • Menumbuhkan  inisiatif  dan  kreasi  masyarakat  dalam  mengatur kegiatan ekonomi.
  • Setiap individu bebas memiliki sumber-sumber produksi.
  • Munculnya persaingan untuk maju.
  • Barang yang dihasilkan bermutu tinggi, karena barang yang  tidak bermutu tidak akan laku di pasar.
  • Efisiensi  dan  efektivitas  tinggi  karena  setiap  tindakan  ekonomi didasarkan atas motif mencari laba.
  • Kelemahan sistem ekonomi pasar/liberal/bebas/kapitalis. 
Sistem  ekonomi  pasar/liberal/bebas/kapitalis  memiliki  kelemahan sebagai berikut:
  • Sulitnya melakukan pemerataan pendapatan.
  • Cenderung  terjadi  eksploitasi  kaum  buruh  oleh  para  pemilik modal.
  • Munculnya monopoli yang dapat merugikan masyarakat.
  • Sering  terjadi  gejolak  dalam  perekonomian  karena  kesalahan alokasi sumber daya oleh individu. 
Suatu  perekonomian  pasar/liberal/bebas/kapitalis  dengan  lembaga milik  pribadi  dan  warisan  menimbulkan  kondisi  untuk  mengumpulkan kekayaan  dan mempertahankannya  dalam  lingkungan  keluarga  dari  satu ke  lain  generasi  (Gregory  Grossman,  2004:  68).  Ini  merupakan  wujud kelemahan dari  sistem ekonomi pasar/liberal/bebas di mana akan  terjadi penumpukan  kekayaan  pada  sekelompok  orang  secara  turun  temurun. Karena pemerintah tidak membatasi kegiatan ekonomi, maka orang bebas  melakukan apapun yang menguntungkan bagi dirinya dan sesuka hatinya. 
Ekonomi  pasar  efektif  dalam  menyeimbangkan  permintaan  dan penawaran pasar untuk masing-masing produk,  tapi perekonomian pasar kurang  bisa  diharapkan  dalam  menciptakan  keseimbangan  makro ekonomi (Gregory Grossman, 2004: 78). Hal ini salah satunya disebabkan karena  seluruh  kesatuan  ekonomi  melakukan  kegiatan  ekonomi  secara otonomi  tanpa  adanya  koordinasi  langsung. Hal  ini  dapat menyebabkan kondisi perekonomian suatu negara sangat  fluktuatif, kecuali pemerintah mengambil  kebijakan  untuk  menstabilkan  kondisi  perekonomian negaranya.  
Suatu  perekonomian  dengan  perusahaan  swasta  cenderung memproduksi barang yang laku di pasar daripada fasilitas umum. 

3.  Sistem Ekonomi Komando/Terpusat/Etatisme/Sosialis/Komunis

Sistem  ekonomi  komando  adalah  sistem  ekonomi  di  mana  peran pemerintah  sangat  dominan  dan  berpengaruh  dalam  mengendalikan perekonomian.  Sistem  ini mendasarkan  diri  pada  pandangan Karl Marx (Suroso,  1997;  15-16).  Masyarakat  komunis  yang  dicita-citakan  Marx merupakan masyarakat  yang  tidak  ada  kelas  sosialnya.  Pada  sistem  ini pemerintah  menentukan  barang  dan  jasa  apa  yang  akan  diproduksi, dengan  cara  atau  metode  bagaimana  barang  tersebut  diproduksi,  serta untuk  siapa  barang  tersebut  diproduksi.  Beberapa  negara  yang
menggunakan sistem ekonomi ini adalah Rusia, Cina, dan Kuba.  
Ciri-ciri sistem ekonomi komando
Sistem ekonomi komando memiliki ciri-ciri sebagai berikut:  
  • Semua alat dan sumber-sumber daya dikuasai pemerintah.
  • Hak milik perorangan tidak diakui.
  • Tidak  ada  individu  atau  kelompok  yang  dapat  berusaha  dengan bebas dalam kegiatan perekonomian.
  • Kebijakan perekonomian diatur sepenuhnya oleh pemerintah. 
Kebaikan sistem ekonomi komando
  Sistem ekonomi komando memiliki kebaikan antara lain:
  • Pemerintah  lebih mudah mengendalikan  inflasi, pengangguran dan masalah ekonomi lainnya.
  • Pasar barang dalam negeri berjalan lancar.
  • Pemerintah dapat turut campur dalam hal pembentukan harga.
  • Relatif mudah melakukan distribusi pendapatan.
  • Jarang terjadi krisis ekonomi.
  • Kelemahan sistem ekonomi komando
Sistem ekonomi komando memiliki kelemahan antara lain:
  • Mematikan inisiatif individu untuk maju
  • Sering terjadi monopoli yang merugikan masyarakat
  • Masyarakat tidak memiliki kebebasan dalam memilih sumber daya 

4.  Sistem Ekonomi Campuran 

Sistem  ekonomi  campuran  merupakan  campuran  dari  sistem ekonomi  pasar  dan  terpusat,  di  mana  pemerintah  dan  swasta  saling berinteraksi  dalam  memecahkan  masalah  ekonomi.    Dalam  bentuk perekonomian  campuran  sumber-sumber  ekonomi  bangsa,  termasuk factor-faktor  produksi  dimiliki  oleh  individu  atau  kelompok  swasta,  di samping sumber tertentu yang dikuasai pemerintah pusat, atau pemerintah daerah,  atau  pemerintah  setempat.  Karena  itu  dalam  sistem  ekonomi campuran  dikenal  paling  tidak  dua  sektor  ekonomi,  yaitu  sektor  swasta dan  sektor Negara  (Cornelis Rintuh,  1995:  41).  
Sistem  ini  berkembang dan sekarang diberlakukan baik oleh Negara yang sebelumnya menganut sistem ekonomi pasar  (Negara  industri  barat) maupun oleh Negara  yang sebelumnya  menganut  sistem  ekonomi  perencanaan  yang  ketat/terpusat (Uni  Soviet).  Pemberlakuan  sistem  ekonomi  pasar  yang  ketat  ternyata menimbulkan  depresi  ekonomi  pada  tahun  1930-an.  Sedang pemberlakuan sistem ekonomi perencanaan yang ketat juga tidak mampu menghilangkan  kelas-kelas  dalam masyarakat. Berdasarkan  pengalaman tersebut banyak Negara menganut sistem ekonomi campuran ini. (Suroso, 1997:  17). Sistem  ekonomi  campuran melahirkan  ekonomi  pasar  bebas, yang  memungkinkan  persaingan  bebas  tetapi  bukan  persaingan  yang mematikan,  campur  tangan  pemerintah  dieprlukan  untuk menstabilisasi kehidupan  ekonomi,  mencegah  konsentrasi  yang  terlalu  besar  di  pihak swasta,  mengatasi  gejolak-gejolak,  dan  membantu  golongan  ekonomi lemah. 
Ciri-ciri sistem ekonomi campuran antara lain:
  • Merupakan gabungan dari sistem ekonomi pasar dan terpusat.
  • Barang  modal  dan  sumber  daya  yang  vital  dikuasai  oleh pemerintah.
  • Pemerintah  dapat  melakukan  intervensi  dengan  membuat peraturan, menetapkan  kebijakan  fiskal, moneter,  membantu  dan mengawasi kegiatan swasta.
  • Peran pemerintah dan sektor swasta berimbang. 
Penerapan  sistem  ekonomi  campuran  akan  mengurangi  berbagai kelemahan dari sistem ekonomi pasar dan komando dan ditujukan untuk meningkatkan  kesejahteraan  rakyat.  Secara  umum  saat  ini  hampir  tidak ada  negara  yang murni melaksanakan  sistem  ekonomi  terpusat maupun pasar,  yang  ada  adalah  kecenderungan  terhadap  ekonomi  pasar  seperti Amerika,  Hongkong,  dan  negara–negara  eropa  barat  yang  berpaham liberal,  sementara  negara  yang  pernah  menerapkan  ekonomi  terpusat adalah Kuba, Polandia dan Rusia yang berideologi sosialis atau komunis. Kebanyakan  negara-negara  menerapkan  sistem  ekonomi  campuran seperti Perancis, Malaysia  dan Indonesia.
Namun  perubahan  politik  dunia  juga  mempengaruhi  sistem ekonomi,  seperti  halnya  yang  dialami  Uni  Soviet  pada  masa pemerintahan Boris Yeltsin, kehancuran komunisme  juga mempengaruhi sistem  ekonomi  soviet,    dari  sistem  ekonomi  terpusat  (komando) mulai beralih  ke  arah  ekonomi  liberal  dan  mengalami  berbagai  perubahan positif. 

Kebaikan Sistem Ekonomi Campuran
  •  Menghindarkan Free Fight liberalism
  • Menghindarkan adanya monopoli
  • Menghindarkan dominasi kekuasaan pemerintah

 5. Sistem Perekonomian di Indonesia

Bentuk sistem perekonomian Indonesia
Dalam  pidato  yang  diucapkan  oleh  wakil  presiden  RI  dalam konferensi ekonomi di Yogyakarta pada tanggal 3 febuari 1946 dikatakan bahwa  dasar  politik  perekonomian  RI  terpancang  dalam  UUD  1945
dalam  bab  kesejahteraan  sosial  pasal  33.  Sementara  itu  Sumitro Djojohadikusumo  dalam  pidatonya  dihadapan  “School  of  Advanced International  Studies” Washington  D.C  tanggal  22  Febuari  1949  juga
menegaskan  bahwa  yang  dicita-citakan  ialah  suatu  macam  ekonomi campuran  yaitu  lapangan-lapangan  tertentu  akan  dinasionaliasi  dan dijalankan  oleh  pemerintah,  sedangkan  yang  lainnya  akan  terus  terletak dalam  lingkungan  usaha  partekelir. 
 Meskipun  sistem  perekonomian Indonesia  sudah  cukup  jelas  dirumuskan  oleh  tokoh-tokoh  ekonomi Indonesia yang sekaligus menjadi tokoh pemerintahan pada awal republik Indonesia  berdiri,  dalam  perkembangannya  pembicaraan  tentang  sistem perekonomian  Indonesia  tidak  hanya  berkisar  pada  sistem  ekonomi campuran,  tetapi mengarah  pada  suatu  bentuk  baru  yang  disebut  sistem ekonomi Pancasila. Sistem Ekonomi Pancasila  (SEP) menurut Mubyarto (1987:32)  adalah“ekonomi  yang  dijiwai  oleh  ideologi  Pancasila,  yaitu sistem ekonomi yang merupakan usaha bersama berasaskan kekeluargaan dan  kegotong-royongan  nasional”.  Sistem  Ekonomi  pancasila  yang  menjadi  sumber  ideologi  Bangsa  Indonesia  yaitu  Pancasila  membawa keharusan  untuk  dijadikan  dasar  atau  pedoman  dalam  kehidupan berbangsa dan bernegara. 
Sistem  ekonomi  Pancasila  yang  dimili  Indonesia  kadang  disebut juga  sebagai  demokrasi  ekonomi.  Dijelaskan  oleh  Dochak  Latief (1984:45)  bahwa  “demokrasi  ekonomi  yang menjadi  dasar  pelaksanaan pembangunan  dan  yang  meliputi  ciri-ciri  positif  maupun  negatif  yang harus  dihindarkan.  Garis-garis  Besar  Haluan  Negara  yang  merupakan pedoman bagi kebijaksanaan pembangunan di bidang ekonomi Indonesia berbunyi  “pembangunan  ekonomi  yang  didasarkan  pada  Demokrasi Ekonomi  menentukan  bahwa  masyarakat  harus  memegang  peran  aktif dalam kegiatan pembangunan (Suroso, 1997: 17-19).   
Ciri-ciri Demokrasi Ekonomi Sebagai berikut:
  • Perekonomian  disusun  sebagai  usaha  bersama  berdasr  atas  asas kekeluargaan.
  • Cabang-cabang  produksi  yang  penting  bagi Negara  dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuaswai oleh Negara.
  • Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh engara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 
  • Sumber-sumber  kekayaan  dan  keuangan  engara  digunakan  dengan permufakatan  Lembaga-lembaga  Perwakilan  Rakyat,  serta pengawasan  terhadap kebijaksanaannya ada pada Lembaga-lembaga Perwakilan Rakyat pula. 
  • Warga  negara  memiliki  kebebasan  dalam  memilih  pekerjaan  yang dikehendaki  serta mempunyai  hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak. 
  • Hak  milik  perorangan  diakui  dan  pemanfaatannya  tidak  boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
  • Potensi,  inisiatif  dan  daya  kreasi  setiap  warga  Negara diperkembangkan  sepenuhnya  dalam  batas-batas  yang  tidak merugikan kepentingan umum.
  • Fakir  miskin  dan  anak-anak  etrlantar  dipelihara  oleh  Negara (Cornelis Rintuh, 1995: 51).  
Dalam  demokrasi  ekonomi  harus  dihindarkan  ciri-ciri  negatif sebagai berikut: 
  • Sistem  Free  fight  liberalism  yang  menumbuhkan  eksploitasi terhadap  manusia  dan  bangsa  lain  yang  dalam  sejarahnya  di Indonesia  telah  menimbulkan  dan  mempertahankan  kelemahan structural posisi Indonesia dalam ekonomi dunia.
  • Sistem  etatisme  dalam  mana  Negara  beserta  aparatur  ekonomi Negara bersifat dominan  serta mendesak dan mamtikan potensi dan daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor Negara.
  • Pemusatan  kekuatan  ekonomi  pada  suatu  kelompok  dalam  bentuk monopoli  yang merugikan masyarakat  (Cornelis  Rintuh,  1995:  51-52). 
Sistem  ekonomi  Indonesia  yang  dikenal  sebagai  Demokrasi Ekonomi adalah Sistem Ekonomi yang dijalankan oleh Indonesia. Sistem tersebut    juga ada yang menyebutnya sebagai  sistem ekonomi Pancasila.
Pancasila  meurpakan  kepribadian  dan  pandangan  hidup  bangsa,  maka sistem ekonomi Indonesia pun  lebih tepat jika didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Mubyarto mengatakan bahwa, apa yang disebut oleh presiden Suharto tentang sistem ekonomi koperasi sebagai  sistem  ekonomi  Indonesia  itu,  tidaklah  berbeda  dengan  sistem ekonomi Pancasila (Sri-Edi Swasono, 1985: 121). 
  Ciri-ciri Sistem Ekonomi Pancasila
Menurut  Mubyarto  (1993:  53),  Sistem  Ekonomi  Pancasila memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Cornelis Rintuh, 1995: 42): 
  •  Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral;
  • Kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah keadaan kemerataan sosial (egalitarianism), sesuai asas-asas kemanusiaan;
  • Prioritas  kebijakan  ekonomi  adalah  penciptaan  perekonomian nasional  yang  tangguh  yang  berarti  nasionalisme  menjiwai  tiap kebijaksanaan ekonomi; 
  • Koperasi  merupakan  soko  guru  perekonomian  dan  merupakan bentuk yang paling konkrit dari usaha bersama; 
  • Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi untuk menjamin keadilan sosial.
Menurut Emil Salim, ciri-ciri di atas dilengkapi dengan pengertian yang berdasarkan pada dokumen-dokumen UUD 1945 dan GBHN, dapat ditarik dari ciri-ciri sistem ekonomi Pancasila sebagai berikut:
  • Peranan  negara  beserta  aparatur  ekonomi  negara  adalah  penting, tetapi  tidak dominan agar dicegah  tumbuhnya  sistem etatisme  (serba negara).  Peranan  swasta  adalah  penting,  tetapi  juga  tidak  dominan agar dicegah tumbuhnya free fight liberalism. Dalam sistem ekonomi Pancasila,  usaha  negara  dan  swasta  tumbuh  berdampingan  dengan perimbangan tanpa dominasi berlebihan satu terhadap yang lain.
  • Hubungan  kerja  antar  lembaga-lembaga  ekonomi  tidka  didasarkan pada dominasi modal seperti halnya dalam sistem ekonomi kapitalis. Juga  tidak  didasarkan  atas  dominasi  buruh  seperti  halnya  dalamsistem ekonomi komunis tetapi asas kekeluargaan, menurut keakraban hubungan antar manusia.  
  • Masyarakat  sebagai  satu  kesatuan  memegang  peranan  sentral. Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-aggota masyarakat.
  • Negara  menguasai  bumi,  air  dan  kekayaan  alam  yang  terkandung dalam bumi dan yang merupakan pokok bagi kemakmuran rakyat 
  • Tidak bebas nilai, bahkan sistem nilai  inilah mempengaruhi kelakuan pelaku ekonomi. (Sri Edi Swasono, 1985: 59-61).
Pada  akhir-akhir  ini  banyak  diperbincangkan  mengenai  sistem ekonomi kerakyatan. Seperti yang dikemukakan oleh pakar ekonomi kita Prof.  Mubyarto  bahwa  sistem  ekonomi  kerakyatan  tidaklah  berbeda dengan apa yang disebut dengan sistem ekonomi Pancasila. Hanya  lebih ditekankan pada sila ke 4 yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
 


Friday, February 15, 2013

Politik Dan Birokrasi Di Indonesia

Birokrasi dan politik sebagai dua institusi yang berbeda namun sulit untuk dipisahkan. Keduanya saling memberikan kontribusi bagi pelaksanaan pemerintahan daerah yang baik. Institusi politik dan birokrasi melakukan proses check and balance agar senantiasa berada dalam koridor esensi otonomi daerah. Interaksi antara kedua institusi tersebut melahirkan pola relasi yang dinamis konstruktif, namun disisi lain menampakkan fenomena sebaliknya, yaitu adanya “perselingkuhan” yang meminggirkan kepentingan publik.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa institusi politik dan birokrasi merupakan institusi yang berbeda karakternya. Birokrasi sebagai suatu sistem organisasi formal dimunculkan pertama sekali oleh Weber pada tahun 1947, menurutnya, birokrasi merupakan tipe ideal bagi semua organisasi formal. Ciri organisasi yang mengikuti sistem birokrasi adalah pembagian kerja dan spesialisasi, orientasi impersonal, kekuasaan hirarkis, peraturan-peraturan, karir yang panjang, dan efisiensi. Sedangkan institusi politik berkarakter demokrasi yang ditandai oleh adanya kebebasan sipil dan politik, seperti kebebasan berbicara, menulis, berkumpul dan berorganisasi, dan perdebatan-perdebatan politik.
Perbedaan kedua institusi ini telah dikemukakan oleh Wilson (1887-1941) dan Goodnow (1990), dimana politik ada dalam ranah kebijakan (policy) dan birokrasi di ranah administrasi (administration). Perbedaan kedua institusi tersebut tentunya akan melahirkan pola relasi yang dinamis. Dinamika terjadi ketika proses politik berlangsung, saat birokrasi dan politik sama-sama menjalankan proses penyusunan aturan-aturan seperti undang-undang, peraturan daerah, dan sebagainya. Kemudian intensitas relasi dinamis juga terjadi saat birokrasi menjalankan fungsi implementasi kebijakan berhadapan dengan institusi politik yang melakukan pengawasan.
Pola relasi yang dinamis antara politik dan birokrasi terjadi ketika ada keseimbangan relasi diantara keduanya. Pola relasi yang seimbang bukan pola relasi yang saling mengkooptasi atau berkolaborasi diatas kepentingan masing-masing dengan meninggalkan kepentingan masyarakat. Pada dasarnya institusi politik dengan nilai demokrasi dan birokrasi sesungguhnya sangat diperlukan dalam proses pembangunan suatu daerah, akan tetapi semakin kuat birokrasi dalam daerah maka akan semakin rendah demokrasi lokal dan sebaliknya semakin lemah birokrasi maka akan semakin tinggi demokrasi.
Realita saat ini di Indonesia merefleksikan kesamaan substansi pola relasi politik – birokrasi dalam kebanyakan negara berkembang yang tengah berada dalam fase transisi demokrasi. Hal tersebut dapat ditemui dalam ciri-ciri relasi politik – birokrasi seperti praktek lobi-lobi untuk mencari posisi jabatan, intervensi politik dalam penentuan jabatan, dan ketidaknyaman pejabat birokrasi daerah yang berada dalam arena permainan politik daerah. Eforia demokrasi menyebabkan para politisi justru keluar dari esensi demokrasi dengan memanfaatkan momentum tersebut untuk kepentingan pribadi dan golongan. Birokrasi pun akhirnya menyambut perilaku politik tersebut, sehingga berakhir dengan “perselingkuhan” yang mengkhianati rakyat.
Kondisi pemerintahan daerah di negara-negara yang tengah bertransisi dari otoriter ke demokrasi ditandai oleh fenomena diantaranya terjadi peningkatan dominasi lembaga politik terhadap birokrasi. Lembaga–lembaga politik, seperti parlamenter, partai politik, dan kelompok kepentingan mengalami peningkatan kekuatan dan mampu melakukan kontrol terhadap birokrasi. Pada sisi lain, masa diluar birokrasi secara politis dan ekonomis pasif, sehingga menyebabkan lemahnya peranan mereka untuk mengontrol perilaku menyimpang institusi politik dan birokrasi.
Ketika relasi politik dan birokrasi tidak berkembang ke arah sinergisitas untuk keberhasilan pembangunan di daerah, maka dapat disimpulkan bahwa kedua institusi tersebut cendrung dipertanyakan kemampuannya untuk melaksanakan pembangunan, terutama pembangunan yang mampu mengantisipasi dan menahan gejolak-gejolak eksternal sehingga bisa mencapai tingkat pertumbuhan yang memadai, yang dapat mendistribusikan secara merata hasil dari perjuangan masyarakat tersebut.
Relasi politik – birokrasi, sebagaimana dijelaskan Toha diatas, memang sulit dihindarkan bahkan dapat dikatakan mustahil. Termasuk menghilangkan motif politik dalam tubuh birokrasi. Birokrasi bahkan telah menjadi kekuatan politik dengan posisinya sebagai pemilik jaringan struktur hingga ke basis masyarakat, penguasaan informasi yang memadai, dan kewenangan eksekusi program dan anggaran. Eksistensi birokrasi sebagai alat atau mekanisme untuk mencapai tujuan yang baik dan efisien dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik atau motif politik tertentu.
Situasi ini digambarkan oleh Fredrickson (2004) yang menunjukkan masuknya peranan pejabat politik dalam menata administrasi pemerintahan. Situasi, politisasi birokrasi ini terjadi khususnya dalam Pilkada, cenderung menghasilkan oligarki, yaitu kekuasaan berada ditangan sejumlah kecil orang pada puncak partai-partai politik yang berkuasa. Dominasi peran oleh pejabat politik dalam periode ini berada dalam posisi yang sangat kuat (legislative heavy) karena sudah memposisikan diri sebagai lembaga pengambil keputusan dan penentu tindakan politik sebagai cerminan preferensi atau kehendak rakyat yang diwakili.
Kepala daerah sebagai pejabat Pembina birokrasi di daerah justri memanfaatkan birokrasi sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan politik dan partai politik. Kondisi ini justru menempatkan birokrasi pada posisi subordinasi politik. Dalam pada itu, birokrasi dalam batas tertentu  memang sudah memiliki komitmen untuk menjaga netralitasnya terhadap kekuatan politik dan golongan yang dominan sehingga betul-betul bisa berperan secara objektif sebagai abdi negara dan masyarakat. Namun komitmen tersebut baru sebatas slogan belaka, karena ketidakberdayaan birokrasi terhadap pejabat Pembina PNS tersebut yang notabenenya adalah pejabat politik di daerah.
Hal ini yang kemudian menjadikan birokrasi sekaligus menjadi instrument of power yang tidak lepas dari kepentingan sumber kekuasaan itu sendiri. Aktivitas birokrasi akan dipengaruhi oleh perubahan kepentingan internal orang-orang yang ada di dalamnya. Birokrasi sebagai kekuatan politik sarat dengan kepentingan politik seperti mempertahankan kekuasaan. Para pejabat birokrasi daerah dalam pemerintahan senantiasa menjalankan berbagai strategi dan inovasi untuk memelihara agen-agen dan posisi politiknya. Ada tiga klasifikasi strategi (Wilson, 1989) yang biasa digunakan untuk mencapai tujuan politik mereka, yaitu melakukan advokasi (advocate), melalui pembuatan keputusan (decision makers), dan memangkas anggaran (budget-cutters). Selain strategi di atas, para pejabat birokrasi daerah juga melakukan inovasi-inovasi dalam menjalankan kekuasaannya. Inovasi ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi situasi dan kondisi serta proses yang dihadapi oleh organisasi pemerintah.
Relasi politik – birokrasi menunjukkan Pola hubungan bawahan-atasan. Kondisi ini rentan untuk disalahgunakan. Kepala Daerah dapat mengeluarkan kebijakan apa saja terhadap birokrasi yang sesungguhnya menjadi “area kerja” internal birokrasi. Seorang bupati bisa memasukkan dan mendudukkan “orang-orangnya” di jajaran birokrasi. Akibatnya di berbagai wilayah, Kepala Daerah bersikap layaknya raja yang bertindak bebas terhadap birokrasi. Bahkan, Kepala Daerah bisa “memainkan” birokrasi seperti melakukan mutasi, merekrut dan memasang orang-orang kepercayaan, serta memanfaatkan seluruh instrumen birokrasi untuk kepentingan-kepentingan politik jangka pendek. Demikian yang nampak pada pola relasi politik dan birokrasi saat ini.
Relasi politik -birokrasi ditandai oleh adanya intervensi politik. Secara teoritis, intervensi politik terhadap birokrasi memang sulit dihindarkan. Ada beberapa penyebab mengapa hal tersebut dapat terjadi. Pertama, masih kuatnya primordialisme politik, dimana ikatan kekerabatan, politik balas budi, keinginan membagun pemerintahan berbasis keluarga, mencari rasa aman, dan perilaku oportunis birokrat. Kedua, mekanisme check and balance belum menjadi budaya dan belum dilaksanakan dengan baik. Ketiga, kekuasaan yang dimiliki politisi cenderung untuk korup sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton “power tends to corrupt”. Keempat, rendahnya kedewasaan parpol dan ketergantungan tinggi terhadap birokrasi. Kelima, kondisi kesejahteraan aparat birokrat atau PNS di daerah yang rendah cenderung melahirkan praktek rent seeking melalui aktivitas politik tersembunyi demi mendapat income tambahan. Keenam, perangkat aturan yang belum jelas dan mudah dipolitisasi, seperti lemahnya instrumen pembinaan pegawai, kode etik belum melembaga, adanya status kepada daerah sebagai pembina kepegawaian, dan rangkap jabatan kepala daerah dengan ketua umum parpol.
Sebab-sebab sebagaimana dikemukakan di atas masih sangat kuat terlihat di daerah di Indonesia. Implikasinya, pola relasi politik dengan birokrasi cenderung berjalan secara tidak sehat. Relasi politik - birokrasi tidak pada posisi balance, kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh pejabat birokrasi atas arahan politik banyak yang tidak sesaui mekanisme dan persyaratan yang ada, sehingga semakin menjauhkan profesionalisme dan netralitas birokrasi.
Kurniawan (2009) mengemukakan bahwa tantangan netralitas dan profesionalisme aparat birokrasi salah satunya kasus kesewenang-wenangan pejabat politik terhadap pejabat karier. Para pejabat karier merupakan aparat pelaksana kebijakan pemerintah yang bekerja secara profesional, sehingga sungguh memprihatinkan jajaran birokrasi ditunggangi kepentingan politik di luar birokrasi. Oleh karena itu, untuk mempertahankan sikap netral, maka jajaran birokrasi mau tak mau dituntut bersikap profesional.
Tantangan ke depan bukan bagaimana memisahkan dengan tegas diantara keduanya, melainkan menciptakan pola relasi yang seimbang antara politik dan birokrasi. Keseimbangan relasi tersebut harus berdasarkan pada kejelasan dan keseimbangan antara peran dan tanggung jawab kedua institusi tersebut. Hal ini sebagaimana tawaran solusi dari Carino (1994) agar relasi politik-birokrasi ditempatkan dalam pola bureaucratic subllation. Tipe ini mengacu pada relasi yang relatif sejajar dan seimbang antara politisi dengan birokrasi. Pola ini dilatarbelakangai oleh pemahaman bahwa birokrasi bukanlah sekedar entitas yang menjadi instumen atau alat untuk melaksanakan kebijakan publik. Birokrasi yang terlatih secara profesional memiliki sumberdaya dan power tertentu dari kedudukannya sebagai pejabat pemerintah. Birokrasi biasanya memiliki perjalanan karier yang lebih panjang dibandingkan dengan politisi yang bisa saja terpilih secara kebetulan. Argumen bureaucratic subblation adalah, meskipun a politis dan non partisan, birokrasi juga memiliki power dan sumberdaya tersendiri saat berhadapan dengan pejabat politik, terutama terkait dengan kemampuan profesionalnya. Konsekuensinya, birokrasi tidak sekedar menjadi subordinasi ranah politik, tetapi juga dapat menjadi kekuatan penyeimbangnya.

Sistematika Penulisan Proposal Skripsi

Untuk proposal skripsi Penelitian Kuantitatif

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori dan Konsep (yang mendukung variabel Penelitian)
1………………………
2. ……………………..
3. …………………….
dst…………………………

 B. Definisi Konsepsional
C. Operasionalisasi Variabel
D. Hipotesis

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
B. Tempat dan Waktu Penelitian
C. Populasi dan Sampel
D. Teknik Pengumpulan Data
E. Alat Pengukur Data
F. Teknik Analisis Data
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

CONTOH SISTEMATIKA PROPOSAL SKRIPSI
(Penelitian Kuantitatif)
HUBUNGAN ANTARA KINERJA ORGANISASI DENGAN KUALITAS PELAYANAN
PUBLIK DI KANTOR KECAMATAN SAMARINDA ILIR

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
E. Teori Dan Konsep
  1. Kinerja Organisasi
  2. Pengertian Organisasi
  3. Manajemen Organisasi
F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Organisasi
1). Faktor Internal
2). Faktor Eksternal
2. Pelayanan Publik
  • Pegawai Sebagai Abdi Masyarakat
  • Jenis Pelayanan Publik
  • Pelayanan Prima
  • Pelayanan Berorientasi Keadilan
  • Definisi Konsepsional
  • Operasionalisasi Variabel
G. Hipotesis
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
  1. Jenis Penelitian
  2. Tempat dan Waktu Penelitian
  3. Populasi dan Sampel
  4. Teknik Pengumpulan Data
  5. Alat Pengukur Data
  6. Teknik Analisis Data
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Sistematika Penulisan Proposal Skripsi
(Penelitian Kualitatif)
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori dan Konsep (Yang mendukung Variabel Peneltian)
1………………………
2. ……………………..
3. …………………….
dst………………………..
B. Definisi Konsepsional
C. Fokus Penelitian
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
B. Tempat dan Waktu Penelitian
C. Sumber Data
D. Teknik Pengumpulan Data
E. Teknik Analisis Data
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN




Political Science Concepts  
 The concepts listed below are an integral component of the global history and
geography core curriculum: 
•  Justice means the fair, equal, proportional, or appropriate treatment
rendered to individuals in interpersonal, societal, or government
interactions. 
•  Nation-state means a geographic/political organization uniting
people by a common government. Citizenship means membership in a
community (neighborhood, school, region, state, nation, world) with its
accompanying rights, responsibilities, and dispositions. 
•  Political Systems such as monarchies, dictatorships, and
democracies address certain basic questions of government such as: What
should a government have the power to do? What should a government not
have the power to do? A political system also provides for ways that parts of
that system interrelate and combine to perform specific functions of
government. 
•  Power refers to the ability of people to compel or influence the
actions of others. “Legitimate power is called authority.” 
•  Government means the “formal institutions and processes of a
politically organized society with authority to make, enforce, and interpret
laws and other binding rules about matters of common interest and
concern. Government also refers to the group of people, acting in formal
political institutions at national, state, and local levels, who exercise
decision making power or enforce laws and regulations.” (Taken from:
Civics Framework for the 1998 National Assessment of Educational Progress,
NAEP Civics Consensus Project, The National Assessment Governing Board,
United States Department of Education, p. 19). 

•  Decision Making means the processes used to “monitor and influence
public and civic life by working with others, clearly articulating ideals and
interests, building coalitions, seeking consensus, negotiating compromise,
and managing conflict.” (Taken from: Civics Framework, p. 18). 
•  Civic Values refer to those important principles that serve as the
foundation for our democratic form of government. These values include
justice, honesty, self-discipline, due process, equality, majority rule with
respect for minority rights, and respect for self, others, and property. 
•  Human Rights are those basic political, economic, and social rights
that all human beings are entitled to, such as the right to life, liberty, and
the security of person, and a standard of living adequate for the health and
well-being of himself and of his family. Human rights are inalienable and
expressed by various United Nations documents including the United Nations
Charter and Universal Declaration of Human Rights. 


Administrasi publik

Administrasi Publik (Inggris:Public Administration) atau Administrasi Negara adalah suatu bahasan ilmu sosial yang mempelajari tiga elemen penting kehidupan bernegara yang meliputi lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif serta hal- hal yang berkaitan dengan publik yang meliputi kebijakan publik, manajemen publik, administrasi pembangunan, tujuan negara, dan etika yang mengatur penyelenggara negara.[1]
Secara sederhana, administrasi publik adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana pengelolaan suatu organisasi publik. Meskipun sama-sama mengkaji tentang organisasi, administrasi publik ini berbeda dengan ilmu manajemen: jika manajemen mengkaji tentang pengelolaan organisasi swasta, maka administrasi publik mengkaji tentang organisasi publik/pemerintah, seperti departemen-departemen, dan dinas-dinas, mulai dari tingkat kecamatan sampai tingkat pusat. Kajian ini termasuk mengenai birokrasi; penyusunan, pengimplementasian, dan pengevaluasian kebijakan publik; administrasi pembangunan; kepemerintahan daerah; dan good governance.

Lokus dan fokus

Lokus

Lokus adalah tempat yang menggambarkan di mana ilmu tersebut berada. Dalam hal ini lokus dari ilmu administrasi publik adalah: kepentingan publik (public interest) dan urusan publik (public affair).[2]

Fokus

Fokus adalah apa yang menjadi pembahasan penting dalam memepelajari ilmu administrasi publik. yang menjadi fokus dari ilmu administrasi publik adalah teori organisasi dan ilmu manajemen.[2]

Sejarah

Ilmu Administrasi Negara lahir sejak Woodrow Wilson (1887), yang kemudian menjadi presiden Amerika Serikat pada 1913-1921, menulis sebuah artikel yang berjudul “The Study of Administration” yang dimuat di jurnal Political Science Quarterly. Kemunculan artikel itu sendiri tidak lepas dari kegelisahan Wilson muda akan perlunya perubahan terhadap praktik tata pemerintahan yang terjadi di Amerika Serikat pada waktu itu yang ditandai dengan meluasnya praktik spoil system (sistem perkoncoan) yang menjurus pada terjadinya inefektivitas dan inefisiensi dalam pengelolaan negara. Studi Ilmu Politik yang berkembang pada saat itu ternyata tidak mampu memecahkan persoalan tersebut karena memang fokus kajian Ilmu Politik bukan pada bagaimana mengelola pemerintahan dengan efektif dan efisien, melainkan lebih pada urusan tentang sebuah konstitusi dan bagaimana keputusan-keputusan politik dirumuskan.
Woodrow Wilson‎
Menurut Wilson, Ilmuwan Politik lupa bahwa kenyataannya lebih sulit mengimplementasikan konstitusi dengan baik dibanding dengan merumuskan konstitusi itu sendiri. Sayangnya ilmu yang diperlukan untuk itu belum ada. Oleh karena itu, untuk dapat mengimplementasikan konstitusi dengan baik maka diperlukan suatu ilmu yang kemudian disebut Wilson sebagai Ilmu Administrasi tersebut. Ilmu yang oleh Wilson disebut ilmu administrasi tersebut menekankan dua hal, yaitu perlunya efisiensi dalam mengelola pemerintahan dan perlunya menerapkan merit system dengan memisahkan urusan politik dari urusan pelayanan publik. Agar pemerintahan dapat dikelola secara efektif dan efisien, Wilson juga menganjurkan diadopsinya prinsip-prinsip yang diterapkan oleh organisasi bisnis ―the field of administration is the field of business.
Penjelasan ilmiah terhadap gagasan Wilson tersebut kemudian dilakukan oleh Frank J. Goodnow yang menulis buku yang berjudul: Politics and Administration pada tahun 1900. Buku Goodnow tersebut seringkali dirujuk oleh para ilmuwan administrasi negara sebagai "proklamasi‟ secara resmi terhadap lahirnya Ilmu Administrasi Negara yang memisahkan diri dari induknya, yaitu Ilmu Politik. Era ini juga sering disebut sebagai era paradigma dikotomi politik-administrasi. Melalui paradigma ini, Ilmu Administrasi Negara mencoba mendefinisikan eksistensinya yang berbeda dengan Ilmu Politik dengan ontologi, epistimologi dan aksiologi yang berbeda. Beberapa tahun kemudian, sebuah buku yang secara sistematis menjelaskan apa sebenarnya Ilmu Administrasi Negara lahir dengan dipublikasikannya buku Leonard D. White yang berjudul Introduction to the Study of Public Administration pada 1926. Buku White yang mencoba merumuskan sosok Ilmu Administrasi tersebut pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh berbagai karya ilmuwan sebelumnya yang mencoba menyampaikan gagasan tentang bagaimana suatu organisasi seharusnya dikelola secara efektif dan efisien, seperti Frederick Taylor (1912) dengan karyanya yang berjudul Scientific Management, Henry Fayol (1916) dengan pemikirannya yang dituangkan dalam monograf yang berjudul General and Industrial Management, W.F. Willoughby (1918) dengan karyanya yang berjudul The Movement for Budgetary Reform in the State, dan Max Weber (1946) dengan tulisannya yang berjudul Bureaucracy.
Era berikutnya merupakan periode di mana para ilmuwan administrasi negara berusaha membangun body of knowledge ilmu ini dengan terbitnya berbagai artikel dan buku yang mencoba menggali apa yang mereka sebut sebagai prinsip-pinsip administrasi yang universal. Tonggak utama dari era ini tentu saja adalah munculnya artikel L. Gulick (1937) yang berjudul Notes on the Theory of Organization di mana dia merumuskan akronim yang terkenal dengan sebutan POSDCORDB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Co-ordinating, Reporting dan Budgeting). Tidak dapat dipungkiri, upaya para ahli administrasi negara untuk mengembangkan body of knowledge ilmu administrasi negara sangat dipengaruhi oleh ilmu manajemen. Prinsip-prinsip administrasi sebagaimana dijelaskan oleh para ilmuwan tersebut pada dasarnya merupakan prinsip-prinsip administrasi yang diadopsi dari administrasi bisnis yang menurut mereka dapat juga diterapkan di organisasi pemerintah.
Perkembangan pergulatan pemikiran ilmuwan administrasi negara diwarnai sebuah era pencarian jati diri Ilmu Administrasi Negara yang tidak pernah selesai. Kegamangan para ilmuwan administrasi negara dalam meninggalkan induknya, yaitu Ilmu Politik, untuk membangun eksistensinya secara mandiri bermula dari kegagalan mereka dalam merumuskan apa yang mereka sebut sebagai prinsip-prinsip administrasi sebagai pilar pokok Ilmu Administrasi Negara. Keruntuhan gagasan tentang prinsip-prinsip administrasi ditandai dengan terbitnya tulisan Paul Applebey (1945) yang berjudul Government is Different. Dalam tulisannya tersebut Applebey berargumen bahwa institusi pemerintah memiliki karakteristik yang berbeda dengan institusi swasta sehingga prinsip-prinsip administrasi yang diadopsi dari manajemen swasta tidak serta merta dapat diadopsi dalam institusi pemerintah. Karya Herbert Simon (1946) yang berjudul The Proverbs of Administration semakin memojokkan gagasan tentang prinsip-prinsip administrasi yang terbukti lemah dan banyak aksiomanya yang keliru. Kenyataan yang demikian membuat Ilmu Administrasi Negara mengalami "krisis identitas‟ dan mencoba menginduk kembali ke Ilmu Politik. Namun demikian, hal ini tidak berlangsung lama ketika ilmuwan administrasi negara mencoba menemukan kembali fokus dan lokus studi ini.
Kesadaran bahwa lingkungan pemerintahan dan bisnis cenderung mengembangkan nilai, tradisi dan kompleksitas yang berbeda mendorong perlunya merumuskan definisi yang jelas tentang prinsip-prinsip administrasi yang gagal dikembangkan oleh para ilmuwan terdahulu. Dwiyanto (2007) menjelaskan bahwa lembaga pemerintah mengembangkan nilai-nilai dan praktik yang berbeda dengan yang berkembang di swasta (pasar) dan organisasi sukarela. Mekanisme pasar bekerja karena dorongan untuk mencari laba, sementara lembaga pemerintah bekerja untuk mengatur, melayani dan melindungi kepentingan publik. Karena karakteristik antara birokrasi pemerintah dan organisasi swasta sangat berbeda, maka para ilmuwan dan praktisi administrasi negara menyadari pentingnya mengembangkan teori dan pendekatan yang berbeda dengan yang dikembangkan oleh para ilmuwan yang mengembangkan teori-teori administrasi bisnis. Dengan kesadaran baru tersebut maka identitas Ilmu Administrasi Negara menjadi semakin jelas, yaitu ilmuwan administrasi negara lebih menempatkan proses administrasi sebagai pusat perhatian (fokus) dan lembaga pemerintah sebagai tempat praktik (lokus).

Perubahan administrasi negara ke administrasi publik

Sejarah tentang perubahan Ilmu Administrasi Negara masih terus berulang. Upaya mendefinisikan diri Ilmu Administrasi Negara sebagai ilmu administrasi pemerintahan sebagaimana dijelaskan sebelumnya ternyata tidak berlangsung lama. Dinamika lingkungan administrasi negara yang sangat tinggi kemudian menimbulkan banyak pertanyaan tentang relevansi keberadaan Ilmu Administrasi Negara sebagai administrasi pemerintahan. Gugatan tersebut terutama ditujukan pada lokus Ilmu Administrasi Negara yang dirasa tidak memadai lagi. Menurut Dwiyanto (2007) lembaga pemerintah dirasa terlalu sempit untuk menjadi lokus Ilmu Administrasi Negara. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa lembaga pemerintahan tidak lagi memonopoli peran yang selama ini secara tradisional menjadi otoritas pemerintah. Saat ini semakin mudah ditemui berbagai lembaga non-pemerintah yang menjalankan misi dan fungsi yang dulu menjadi monopoli pemerintah saja. Di sisi yang lain, organisasi birokrasi juga tidak semata-mata memproduksi barang dan jasa publik, tetapi juga barang dan jasa privat. Pratikno (2007) juga memberikan konstatasi yang sama. Saat ini negara banyak menghadapi pesaing-pesaing baru yang siap menjalankan fungsi negara, terutama pelayanan publik, secara lebih efektif. Selain pelayanan publik, dalam bidang pembangunan ekonomi dan sosial, negara juga harus menegosiasikan kepentingannya dengan aktor-aktor yang lain, yaitu pelaku bisnis dan kalangan civil society (masyarakat sipil). Secara lebih tegas, Miftah Thoha (2007) bahkan mengatakan telah terjadi perubahan paradigma “ dari orientasi manajemen pemerintahan yang serba negara menjadi berorientasi ke pasar (market). Menurut Thoha, pasar di sini secara politik bisa dimaknai sebagai rakyat atau masyarakat (public). Fenomena menurunnya peran negara ini merupakan arus balik dari apa yang disebut Grindle sebagai too much state, di mana negara pada pertengahan 1980-an terlalu banyak melakukan intervensi yang berujung pada jeratan hutang luar negeri, krisis fiskal, dan pemerintah yang terlalu sentralistis dan otoriter.
Dwiyanto (2007) menyebut setidaknya ada empat faktor yang menjadi sebab semakin menurunnya dominasi peran negara, yaitu:
  1. Dinamika ekonomi, politik dan budaya yang membuat kemampuan pemerintah semakin terbatas untuk dapat memenuhi semua tuntutan masyarakat;
  2. Globalisasi yang membutuhkan daya saing yang tinggi di berbagai sektor menuntut makin dikuranginya peran negara melalui debirokratisasi dan deregulasi;
  3. Tuntutan demokratisasi mendorong semakin banyak munculnya organisasi kemasyarakatan yang menuntut untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan dan implementasinya;
  4. munculnya fenomena hybrid organization yang merupakan perpaduan antara pemerintah dan bisnis.
Berbagai fenomena tersebut menimbulkan gugatan di antara para mahasiswa maupun ilmuwan Ilmu Administrasi Negara: Apakah masih relevan menjadikan pemerintah sebagai lokus studi Ilmu Administrasi Negara?
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa kata "negara‟ dalam Ilmu Administrasi Negara menjadi terlalu sempit dan kurang relevan lagi untuk mewadahi dinamika Ilmu Administrasi Negara di awal abad ke-21 yang semakin kompleks dan dinamis. Utomo (2007) menyebutkan bahwa dalam perkembangan konsep Ilmu Administrasi Negara telah terjadi pergeseran titik tekan dari negara yang semula diposisikan sebagai agen tunggal yang memiliki otoritas untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan publik menjadi hanya sebagai fasilitator bagi masyarakat. Dengan demikian istilah public administration tidak tepat lagi untuk diterjemahkan sebagai administrasi negara, melainkan lebih tepat jika diterjemahkan menjadi administrasi publik. Sebab, makna kata ‟publik‟ di sini jauh lebih luas daripada kata ‟negara‟ (Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara UGM, 2007: x). Publik di sini menunjukkan keterlibatan institusi-institusi non-negara baik di sektor bisnis maupun civil society di dalam pengadministrasian pemerintahan.
Konsekuensi dari perubahan makna public administration sebagai administrasi publik di sini adalah terjadinya pergeseran lokus Ilmu Administrasi Negara dari yang sebelumnya berlokus pada birokrasi pemerintah menjadi berlokus pada organisasi publik, yaitu birokrasi pemerintah dan juga organisasi-organisasi non-pemerintah yang terlibat menjalankan fungsi pemerintahan, baik dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik maupun pembangunan ekonomi, sosial maupun bidang-bidang pembangunan yang lain.

Lingkup

Kebijakan publik

Luther Gulick (1892–1993).
Dengan adanya pergeseran makna ‟publik‟ sebagaimana dijelaskan di atas, maka ilmu administrasi publik telah menemukan lokusnya secara lebih jelas. Intinya, semua aktivitas yang terjadi pada birokrasi pemerintah dan organisasi-organisasi non-pemerintah yang menjalankan fungsi pemerintah menjadi bidang perhatian ilmuwan administrasi publik. Apabila lokus ilmu administrasi publik menjadi semakin jelas, pertanyaan berikutnya adalah apa yang seharusnya menjadi fokus perhatian ilmuwan administrasi publik. Kegelisahan tersebut kemudian dijawab dengan munculnya studi kebijakan publik sebagai pokok perhatian ilmuwan administrasi publik. Hal ini merupakan implikasi yang sangat logis karena kebijakan publik merupakan output utama dari pemerintah (Dwiyanto, 2007). Bagi pemerintah, kebijakan merupakan instrumen pokok yang dapat dipakai untuk mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya memecahkan berbagai persoalan publik (public affairs). Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan kebijakan domestik yang bersifat: distributive policy, protective regulatory policy, competitive regulatory policy, dan redistributive policy (Ripley, 1985: 60).
Dwiyanto (2007) dengan mengutip pendapat Denhardt mengatakan bahwa tingginya minat ilmuwan administrasi publik untuk memusatkan perhatian pada studi kebijakan semakin meningkatkan keyakinan bahwa para administrator memiliki intensitas yang tinggi dalam proses perumusan kebijakan publik. Hal ini juga semakin menguatkan argumen bahwa ilmu administrasi publik memang tidak dapat dipisahkan dari induknya Ilmu Politik, sebab proses perumusan kebijakan itu sendiri tidak hanya dilakukan melalui tahapan yang bersifat teknokratis akan tetapi juga melampaui tahapan yang bersifat politis. Tahapan teknokratis dalam proses perumusan kebijakan memiliki posisi sentral. Sebab, pada tahapan ini berbagai solusi cerdas sebagai upaya memecahkan persoalan masyarakat digodok agar dapat dirumuskan serangkaian alternatif kebijakan yang dapat dipilih oleh para policy maker melalui proses politik. Pentingnya proses teknokratis dalam pembuatan kebijakan semakin membuat analisis kebijakan publik menjadi keahlian yang sangat vital yang dibutuhkan oleh para praktisi administrasi publik.
Berbagai tokoh seperti William N. Dunn (1981), Carl Patton dan David Sawicki (1983), Arnold J. Meltsner (1986), dan lain-lain telah menghasilkan berbagai buku penting sebagai acuan para ilmuwan dan praktisi administrasi publik dalam melakukan kegiatan analisis kebijakan publik. Selain itu, kenyataan bahwa kebijakan yang telah dirumuskan tidak selalu menjamin implementasinya akan berjalan mulus juga memicu munculnya studi implementasi kebijakan publik di dalam ilmu administrasi publik. Para ilmuwan seperti Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky (1984), Merilee Grindle (1980), Malcolm Goggin et.al (1990) merupakan sebagian ilmuwan yang menjadi pelopor pengembangan studi implementasi dalam disiplin Ilmu Administrasi Publik.

Manajemen publik

Dengan adanya perkembangan terakhir tersebut menjadikan Ilmu Administrasi Publik memiliki lokus dan fokus yang lebih jelas. Lokus studi ini adalah organisasi publik, sementara fokus perhatiannya adalah persoalan publik (public affairs) dan bagaimana persoalan tersebut dipecahkan dengan instrumen kebijakan publik. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, kegelisahan ilmuwan administrasi publik tidak hanya berhenti sampai di sini. Buku Owen E. Hughes (1998) yang berjudul Public Management and Administration merupakan pemikiran yang memicu perlunya perubahan dalam mendefinisikan Ilmu Administrasi Publik.
Jika di masa-masa sebelumnya yang dipersoalkan adalah makna public pada public administration yang kemudian bergeser dari administrasi negara menjadi administrasi publik, Hughes memulai diskusi dengan menganjurkan untuk menggunakan istilah manajemen publik daripada administrasi publik. Pemikiran Hughes tersebut memang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan paradigma Ilmu Administrasi Publik yang terjadi pada era 1990an yang mencoba memperbarui mekanisme pengelolaan birokrasi publik yang dikenal sangat hirarkis, lamban, dan tidak efisien dengan mengadopsi prinsip-prinsip yang diterapkan pada manajemen bisnis. Keluhan tentang tidak relevannya prinsip-prinsip birokrasi Weberian sudah sering disampaikan.
Apa yang disampaikan oleh Al Gore sebagaimana dikutip oleh Hughes (1998: 3) tentang buruknya sistem birokrasi yang bekerja atas dasar prinsip Old Public Administration barangkali mewakili pemimpin negara yang lain:
[…] in today‘s world of rapid change, lightning-quick information technologies, tough global competition, and demanding customers, large, top-down bureaucracies –public or private—don‘t work very well.
Merespon persoalan tersebut, beberapa pemikir kemudian mengajukan gagasan mereka, seperti: managerialism (Pollit, 1993), new public management (Hood, 1991), market-based public administration (Lan, Zhioying & Rosenbloom, 1992), dan post-bureaucratic paradigm (Barzelay, 1992). Namun yang paling fenomenal tentu saja pemikiran Osborne dan Gaebler (1992) tentang entrepreneurial government yang ditulis dalam buku mereka yang menjadi best seller, yaitu Reinventing Government. Gagasan mereka kemudian diadopsi secara luas di berbagai negara setelah pemerintahan Clinton-Gore di Amerika Serikat mengadopsinya secara sukses. Selain di Amerika, gagasan untuk mengembangkan paradigma public managerialism dalam disiplin Ilmu Administrasi Publik juga terjadi di Eropa, terutama di Inggris ketika tekanan terhadap keterbatasan anggaran bagi penyediaan layanan publik telah memaksa pemerintahan Margaret Thacher untuk menerapkan berbagai upaya guna lebih mengefisienkan pelayanan publik di Inggris. Rhodes (1991) menyerukan perlunya diterapkan semboyan “3Es” atau economy, efficiency dan effectiveness agar pelayanan publik di Inggris menjadi lebih efisien.
Berbagai realitas sebagaimana digambarkan di atas membawa pada suatu cakrawala baru di antara para ilmuwan administrasi negara untuk sampai pada suatu kesimpulan bahwa administrasi publik yang berkonotasi sempit perlu diubah menjadi manajemen publik yang lebih memiliki jangkauan yang lebih luas sebagaimana dikatakan oleh Hughes (1998: 4): It is argued here that administration is a narrower and more limited function than management […]. Dalam argumentasinya lebih lanjut, Hughes mengatakan bahwa menurut definisi kamus, kata "manajemen‟ memiliki makna yang lebih luas dibandingkan "administrasi‟. Dari berbagai definisi kamus yang ada (Oxford English Dictionary, Webster Dictionary dan Latin Dictionary) dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa administrasi lebih dimaknai sebagai proses dan prosedur yang harus dipatuhi oleh seorang administrator dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan pelayanan publik. Sedangkan manajemen memiliki arti lebih luas, yaitu tidak hanya sekedar mengikuti prosedur, melainkan berkaitan juga dengan: pencapaian target dan tanggung jawab bagi manajer untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan.
Selain alasan tersebut, Hughes (1998: 6) juga menyebut semakin meluasnya penggunaan istilah "manajemen‟ dan "manajer‟ di sektor publik. Sementara di sisi yang lain, penggunaan istilah ‟administrasi‟ justru mengalami penurunan. Di Indonesia sendiri, sejak pemerintahan Kolonial Belanda berakhir, penggunaan istilah ‟administrasi‟ di dalam birokrasi pemerintah semakin jarang digunakan. Kalaupun digunakan, istilah ‟administrasi‟ telah mengalami kemerosotan makna sebagai konsep untuk menggambarkan pekerjaan ketik-mengetik atau sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan prosedur surat-menyurat (cf. Utomo, 2007: 131). Apa yang terjadi tersebut menunjukkan bahwa istilah ‟manajemen‟ memiliki makna lebih superior dibandingkan istilah "administrasi‟. Oleh karena itu Hughes (1998: 6) kemudian mengatakan bahwa:
As part of the general process public administration‘ has clearly lost favor as a description of the work carried out; the term manager‘ is more common, where once administrators‘ was used.
Dukungan terhadap pendapat Hughes juga diberikan oleh Pollitt (1993: vii) yang menyebutkan: formerly they were called administrators‘, principal officers‘, finance officers‘ atau assistant directors‘. Now, they are managers‘. Tentu saja, pentingnya perubahan dari administrasi menjadi manajemen bukan hanya sekedar sebuah pergantian istilah. Perubahan tersebut akan berimplikasi pada bangun teoritis yang perlu dikembangkan untuk mendukung perubahan nama dari administrasi menjadi manajemen, misalnya menyangkut bagaimana akuntabilitas disampaikan, hubungan eksternal, dan konsepsi tentang pemerintahan sendiri yang juga akan turut berubah.
Konsekuensi dari perubahan nama "administrasi publik‟ ke "manajemen publik‟ secara epistimologis juga berpengaruh terhadap cara bagaimana ilmuwan administrasi publik ke depan mengembangkan ilmu ini. Jika selama ini ilmuwan administrasi publik lebih berkutat pada diskusi yang bersifat filosofis tentang administrasi, standar etika dan norma bagi manajer publik dalam menjalankan tugasnya, maka ke depan jika administrasi publik berubah menjadi manajemen publik, orientasi keilmuan dari disiplin ini juga akan bergeser pada hal-hal yang lebih empirikal tentang bagaimana mengembangkan keilmuan untuk membantu manajer publik mencapai tujuan organisasi, bagaimana meningkatkan kemampuan manajerial mereka dan bagaimana meningkatkan akuntabilitas para manajer publik tersebut di depan masyarakat. Untuk itu di masa depan ilmuwan administrasi publik harus memahami:
  1. semakin meningkatnya tekanan terhadap sektor publik untuk melakukan restrukturisasi dan menyerahkan urusan kepada sektor swasta;
  2. bagaimana membuat keputusan yang secara ekonomis menguntungkan dengan mempelajari public choice theory, principal/agent theory dan transaction cost theory;
  3. perubahan-perubahan lingkungan di sektor swasta seperti kompetisi yang semakin meningkat dan globalisasi;
  4. terjadinya perubahan teknologi informasi yang dapat membantu manajer publik untuk menyelesaikan berbagai persoalan mereka sehingga ilmuwan manajemen publik ke depan harus belajar perkembangan teknologi informasi untuk diadopsi menjadi e-government
Pemikiran untuk mengubah nama "administrasi‟ menjadi "manajemen‟ sebenarnya bukan sesuatu yang aneh jika kita merujuk kembali pada gagasan awal yang dikembangkan oleh Wilson (1887: 16) tentang Ilmu Administrasi yang Ia katakan sebagai berikut: This is why there should be a science of administration which shall seek to straighten the paths of government, to make it business less unbusinesslike. Namun demikian, tentu saja manajemen publik yang dikembangkan oleh ilmuwan administrasi publik di masa mendatang jelas akan berbeda dengan manajemen bisnis sebagaimana dikembangkan oleh ilmuwan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Dinamika administrasi publik di Indonesia

Dinamika perkembangan disiplin Ilmu Administrasi Publik sebagaimana diuraikan di depan merefleksikan pencarian ilmuwan administrasi negara terhadap fokus dan lokus dari disiplin ilmu ini yang tiada pernah berhenti. Sebagai wadah yang menjadi naungan para ilmuwan administrasi negara di Universitas Gadjah Mada, Jurusan Ilmu Administrasi Negara tidak lepas dari dinamika tersebut. Sejak kelahirannya di Universitas Gadjah Mada pada 1957, dinamika keilmuan para dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara tercermin dari research interest dan arus pemikiran mereka. Kumpulan naskah pidato enam Guru Besar Jurusan Ilmu Administrasi Negara yang diterbitkan oleh Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (2007) secara nyata mencerminkan betapa pandangan keilmuan dan pemikiran para Guru Besar Jurusan Ilmu Administrasi Negara secara substansi terus berubah dari waktu ke waktu sebagai upaya merespon dan mengikuti perkembangan dinamika keilmuan administrasi negara yang terjadi pada aras internasional.
Sayangnya, dinamika keilmuan yang terjadi selama lebih dari enam dasawarsa tersebut belum tercermin dari wadahnya, yaitu nama Jurusan Ilmu Administrasi Negara tempat yang nota bene menjadi tempat civitas akademis Jurusan bernaung. Nama Jurusan Ilmu Administrasi Negara tersebut sudah tidak mampu mencerminkan aktivitas akademis warga Jurusan yang sangat beragam sebagai konsekuensi dinamika perkembangan Ilmu Administrasi Negara sebagaimana diuraikan secara panjang lebar dalam naskah ini. Oleh karena itu agar dinamika keilmuan warga Jurusan Ilmu Administrasi Negara dapat tergambar secara utuh dari wadahnya maka warga Jurusan Ilmu Administrasi Negara telah sepakat untuk mengusulkan perubahan nama Jurusan, yaitu dari sebelumnya bernama Jurusan Ilmu Administrasi Negara menjadi Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik. Nama Jurusan yang baru tersebut secara gamblang mencerminkan lokus dan fokus ilmu ini sebagaimana dipaparkan dalam naskah ini.

Rujukan

  1. ^ ilmu administrasi negara, suatu bacaan pengantar, 1986. Jakarta: PT gramedia. Hal :3-12
  2. ^ a b Etika Administrasi Negara,1980. Rajawali, hal 121-122.
  • Henry, Nicholas (2004). Public Administration and Public Affairs. 9th Ed. Upper Sadle River. New Jersey: Pearson Prentice-Hall
  • Shafritz, Jay M. & Hyde, Albert C.(1992). Classics Of Public Administration. 3rd Ed. California: Brooks/Cole Publishing Company Pacific Grove.

Bahan bacaan

  • Applebey, P. 1945. "Government is Different‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.
  • Barzelay, M. 1992. Breaking Through Bureaucracy: A New Vision for Managing in Government. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. Bozeman, B. & Straussman, J. 1990. Public Management Strategies, Sanfrancisco: Jossey-Bass.
  • Darwin, M.M. 2007. "Revitalisasi Nasionalisme Madani dan Penguatan Negara di Era Demokrasi‟, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.
  • Dunn, W.N. 1981. Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Prentice Hall.
  • Dwiyanto, A. 2007. "Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: dari Government ke Governance‟, dalam Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (Eds.), Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: GadjahMada University Press.
  • Fayol, H. 1916. General and Industrial Management. London: Pitman and Sons, Ltd.
  • Goggin, M.L, Bowman, A.O, Lester, J.P, & O‟toole, Jr., L.J. 1990. Implementation Theory and Practice Toward a Third Generation. Glenview, Illinois, etc.: Foresman and Company.
  • Goodnow, F.J. 1900. "Politics and Administration‟, dalam Shafritz, J.M & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.
  • Grindle, M.S. 1980. Politic and Policy Implementation in the Third World. Princenton: Princenton University Press.
  • Grindle, M.S. 1997. "The Good Government Imperative”, dalam Grindle, M.S. (Ed.). Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sectors of Developing Countries. Harvard University Press.
  • Gullick. L. 1937. "Notes on the Theory of Organization‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.
  • Henry, N. 1990. Public Administration and Public Affairs. New Jersey: Prentice-Hall International Inc.
  • Willougby, W. 1918. "The Movement for Budgetary Reform in the States‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.
  • Wilson, W. 1887. "The Study of Administration‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.

Konsep Good Governance

A. Arti Dan Definisi Good Governance

Istilah Governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber social dan politiknya tidak hany dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan integrasi, kohesi dan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, bahwa kemampuan suatu Negara mencapai tujuan Negara sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan sector swasta dan masyarakat (Thoha dalam Kurniawan, 2005). Secara konseptual pengertian kata baik (good) dalam istilah kepemerintahan yang baik (good governance) mengandung dua pemahaman, yakni :

  1. Nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.
  2. Aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut.

Dalam Kamus bahasa Indonesia good governance diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik, namun ada yang menerjemahkan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Di samping itu, arti yang lain good governance sebagai pemerintahan yang amanah. Jika good governance diterjemahkan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, maka good governance dapat didefinisikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan secara partisipatif, efektif, jujur, adil, transparan dan bertanggungjawab kepada semua level pemerintahan (Effendi dalam Azhari, dkk., 2002: 187).

Definisi good governance menurut ahli dan institusi negara, yakni antara lain :

  1. Kooiman (1993) bahwa governance merupakan serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut.
  2. World Bank (dalam Mardiasmo, 2002 : 23). ialah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran terhadap kemungkinan salah alokasi dan investasi, dan pencegahan korupsi baik yang secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politicall framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
  3. United Nations Development Program (UNDP) dalam dokumen kebijakannya yang berjudul “Governance for sustainable human development”, (1997), mendefinisikan kepemerintahan (governance) adalah pelaksanaan kewenangan dan atau kekuasaan di bidang ekonomi, politik dan administratif untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat. United Nations Development Program (UNDP) juga mendefinisikan good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan society.
  4. Lembaga Administrasi Negara (Kurniawan, 2005), mendefinisikan good governance sebagai penyelenggaraan pemerintahan Negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain Negara, sektor swasta dan masyarakat (society).
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000, merumuskan arti good governance sebagai berikut : “Kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat”.

Good governance dilaksanakan agar kinerja pemerintahan daerah lebih terarah sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang memadai guna mencapai hasil yang lebih baik dan terciptanya struktur pemerintahan yang ideal yang berorientasi pada tujuan pembangunan nasional. Berdasarkan pengertian dan definisi di atas, good governance berorientasi pada :

    1. Orientasi ideal, negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Orientasi ini bertitik tolak pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen konstituennya.
    2. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi kedua ini tergantung pada sejauhmana pemerintah mempunyai kompetensi, dan sejauhmana struktur serta mekanisme politik serta administratif berfungsi secara efektif dan efisien.

Lembaga Administrasi Negara (2000) menyimpulkan bahwa wujud good governance penyelenggaraan pemerintahan yang solid dan bertanggungjawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat. Sehingga unsur-unsur dalam kepemerintahan (governance stakeholders) dapat dikelompokan menjadi tiga kategori yaitu :

  1. Pemerintahan (negara)

Negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Konsepsi pemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat madani.

  1. Sektor Swasta

Pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti : industri pengolahan perdagangan, perbankan, dan koperasi termasuk kegiatan sektor informal.

  1. Masyarakat Madani

Kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada diantara atau ditengah-tengah antara pemerintah, mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi.




B. Prinsip Good Governance


Prinsip dasar yang melandasi perbedaan antara konsepsi kepemerintahan (governance) dengan pola pemerintahan yang tradisional, adalah terletak pada adanya tuntutan yang demikian kuat agar peranan pemerintah dikurangi dan peranan masyarakat (termasuk dunia usaha dan LSM/organisasi non pemerintah) semakin ditingkatkan dan semakin terbuka aksesnya. Rencana Strategis Lembaga Administrasi Negara tahun 2000-2004, disebutkan perlunya pendekatan baru dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan dan terarah pada terwujudnya kepemerintahan yang baik yakni “proses pengelolaan pemerintahan yang demokratis, profesional menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia, desentralistik, partisipatif, transparan, keadilan, bersih dan akuntabel, selain berdaya guna, berhasil guna dan berorientasi pada peningkatan daya saing bangsa”.

Selain itu, Bhatta (1996) mengungkapkan pula bahwa unsur utama governance, yaitu: akuntabilitas (accountability), transparan (transparency), keterbukaan (opennes), dan aturan hukum (rule of law) ditambah dengan kompetensi manajemen (management competence) dan hak-hak asasi manusia (human right). UNDP (dalam Mardiasmo, 2002) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip pada pelaksanaan good governance meliputi :

  1. Partisipasi (participation), keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
  2. Aturan hukum (rule of law), kerangka aturan hukum dan perundang-undangan yang berkeadilan dan dilaksanakan secara utuh, terutama tentang hak asasi manusia.
  3. Transparansi (transparency), transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
  4. Daya tanggap (responsivennes), setiap institusi/lembaga-lembaga publik dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).
  5. Berorientasi konsensus (Consensus orientation), Pemerintahan yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah serta berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.
  6. Keadilan (equity), setiap masyarakat memiliki kesempatan sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
  7. Efektivitas dan Efisiensi (Efficiency and Effectivennes), setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia serta pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
  8. Akuntabilitas (accountability), para pengambil keputusan dalam organisasi publik, swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas kegiatan yang dilakukan.
  9. Visi strategis (strategic vision), penyelenggara pemerintahan yang baik dan masyarakat harus memiliki visi yang jauh ke depan agar bersamaan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.

Keseluruhan karakteristik atau prinsip good governance tersebut adalah saling memperkuat dan saling terkait serta tidak bisa berdiri sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat empat prinsip utama yang dapat memberi gambaran adminisitrasi publik yang berciri kepemerintahan yang baik yaitu sebagai berikut :

    1. Akuntabilitas, adanya kewajiban bagi aparatur pemeritah untuk bertindak selaku penanggung jawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang ditetapkannya.
    2. Transparansi, kepemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadap rakyatnya baik ditingkat pusat maupun daerah.
    3. Keterbukaan, menghendaki terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintah yang dinilainya tidak transparan.
    4. Aturan hukum, kepemerintahan yang baik mempunyai karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh.

Robert Hass (dalam Sedarmayanti, 2000) juga memberi indikator tentang “good governance” yang meliputi lima indikator, antara lain : Melaksanakan hak asasi manusia, Masyarakat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik, Melaksanakan hukum untuk melindungi kepentingan masyarakat, Mengembangkan ekonomi pasar atas dasar tanggung jawab kepada masyarakat, Orientasi politik pemerintah menuju pembangunan. Indikator good governance yang disampaikan oleh Robert Hass di atas sangatlah ringkas dan padat, namun berorientasi pada tiga elemen pemerintahan yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan good governance, yakni pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Menurut pendapat Ganie Rochman, good governance memiliki empat unsur utama, yang meliputi accountability, rule of law, informasi dan transparansi (Sadjijono, 2005:195).

Nilai yang terkandung dari pengertian serta karakteristik good governance tersebut di atas merupakan nilai-nilai yang universal sifatnya dan sesuai amanat konstitusi, karena itu diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna dan berhasil guna. Kondisi semacam ini ini perlu adanya akuntabilitas dan tersedianya akses yang sama pada informasi bagi masyarakat luas. Hal ini merupakan fondasi legitimasi dalam sistem demokrasi, mengingat prosedur dan metode pembuatan keputusan harus transparan agar supaya memungkinkan terjadinya partisipasi efektif. Di samping itu, institusi governance harus efisien dan efektif dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, responsif terhadap kebutuhan masyarakat (Kurniawan, 2005:16).

Penerapan prinsip-prinsip good governance tidak terlepas dari peran masyarakat, dan stakeholder yang berkepentingan (sektor swasta, LSM/NGOs dan elit politik) demi memajukan pembangunan serta pemerintahan daerah yang berguna bagi masyarakat. Dengan demikian, maka wujud good governance adalah pelaksanaan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang solid, kondusif dan bertangung jawab dengan menjaga kesinergisan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, nyata dan legitimate sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan berlangsung secara berkesinambungan, berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas dari KKN.